Ilustasi oleh Perempuan Gimbal-Amanda Mita
Tulisan oleh Irnanur Shahbanu
diedit oleh Ashtra
“Yang penting itu kualitas waktu ketika sama anak, bukan kuantitas. Buat apa jadi full time mom kalo anaknya dicuekin, trus ibunya sibuk main hp? Jadi ibu bekerja itu berat, harus bangun pagi, siapin sarapan dan mikirin kerjaan kantor. Belum lagi pas pulang kantor quality time dengan suami & anak”,
-Working mom.
“Kalau sudah jadi ibu dan punya anak, untuk apa kerja ke kantor ninggalin anak? kan kita dititipin anak sama Tuhan, masa anaknya kita titipin lagi ke orang lain, atau pengasuh?” ,
-Stay at home mom.
Halo ibu!
Perdebatan tentang siapa ibu yang lebih hebat, ibu yang lebih berat tugasnya, ibu yang lebih benar, ibu yang paling super akan selalu ada. Saya rasa, wacana ini akan terus bergulir selama ada bayi yang lahir, yang berarti adanya Ibu baru.
Wajar saja kalau masing-masing mempertahankan pendapatnya dan merasa lebih benar atas pilihan yang sudah diambil. Dalam tulisan ini, saya mengobrol dengan teman saya Nanda, ibu bekerja atau working mom dari Hakima 21 bulan. Saya sendiri seorang mantan pekerja yang menjadi Ibu rumah tangga atau stay at home mom. Anak saya Zidan berumur 3 tahun pada Februari. Tulisan ini berdasarkan pengalaman kami berdua.
Memilih di rumah atau di kantor?
Ketika hamil semester pertama tidak pernah terbesit dalam benak saya untuk menjadi stay at home mom atau di rumah saja dan tidak bekerja. Pada saat itu saya tetap ingin bekerja setelah cuti 3 bulan melahirkan , tapi karena kondisi saya lemas saat hamil, jadilah saya harus mengambil keputusan berhenti bekerja. Saya pikir, pekerjaan masih bisa dicari, tapi kalau kehamilan, rasanya itu rejeki yang lebih saya nantikan. Ternyata tidak semudah itu membuat permohonan berhenti bekerja, jadi saya baru bisa resign pada saat kandungan memasuki usia kehamilan 5 bulan. Berat hati sebenarnya meninggalkan dunia yang saya sukai,cita-cita saya sedari kuliah, menjadi reporter di stasiun televisi.
Lain lagi dengan Nanda yang memilih tetap bekerja. Nanda percaya, dengan bekerja Ia dapat memberikan yang terbaik untuk masa depan anak.
“Well to be honest , aku suka kerja. Aneh ya. Aku merasa dengan kerja bisa membantu kami sekeluarga meraih mimpi. Tapi aku juga dibesarkan sebagai “anak nanny” dan bisa dibuktikan kalau saya tetap manja sama orang tua terutama ibu. Menurutku dengan kerja tidak akan meninggalkan peran sebagai ibu. “
Menurut Nanda, mengambil satu pilihan tentu ada suka dan dukanya. Menurutnya, membuat anak lebih mandiri dan tidak ketergantungan dengan ayah dan ibunya. Walaupun ibu bekerja di kantor, tetap bisa memiliki bonding yang kuat dengan anak. Semua itu terlihat ketika ibu pulang kantor , atau saat ibu lagi cuti, tentu si anak ingin selalu dekat dengan ibu. Nanda percaya bahwa buah hatinya tidak akan lupa dengan ayah dan ibu, ataupun sebaliknya ayah dan ibu tidak akan lupa dengan buah hatinya.
“Aku kerja dari jam 8 – jam 5, kantor deket dari rumah . Pagi anakku bangun kita becanda-becanda dulu dan masih sempat memandikan dia. Karena anakku biasa breakfast jam 9 jadi kita nggak bisa sarapan bersama deh. Nah kalau pulang kantor aku langsung mengurus anak. Weekend pun kadang kalau aku sama suami olahraga, kami turut mengajak Hakima dan nannynya “, ujar Nanda.
Kalau saya sendiri tidak punya nanny. Kenapa tidak pakai nanny? Selain tidak percaya dengan cara orang lain merawat Zidan , waktu Zidan mash bayi saya terkena baby blues, yang mengakibatkan saya sangat posesif terhadap anak. Saya sempat mengawali usaha jual kue semasa hamil, tapi setelah melahirkan, saya cuti usaha bikin kue untuk untuk mengurus anak. Saya menikmati menjadi ibu rumah tangga, tapi juga tidak dipungkiri saya rindu bekerja, bisa beli ini itu sendiri, serta dinas luar kota yang refreshing.
Pikiran Terbuka
Pernah ada yang bertanya pada Nanda, “anakmu nanti sama siapa kalau kamu kerja?” ketika dijawab kalau si anak akan diurus nanny dan neneknya, lalu mereka jawab “kasihan”.
“Jujur disitu aku merasa gagal paham kenapa sampai keluar kata kasihan. Mereka pikir aku nelantarin anak kali ya. Tapi ah sudahlah aku tahu mereka tidak akan mengerti mengapa kami bekerja, “ imbuh Nanda.
Nanda juga kerap melihat postingan instagram temannya yang stay at home mom seperti berbau sindiran kepada working mom. Ini dapat membangun persepsi kalau stay at home mom ‘semua’ berpikir yang sama tentang working mom.
Saya juga merasakan social media preassure, tapi pada hal yang berbeda. Fenomena ibu muda yang dipamerkan di sosial media, yang bekerja tapi tetap cantik, tetap bisa menjaga tubuh, memiliki anak yang sehat dengan milestone sempurna, membuat saya minder. Saya ingin pilihan saya sebagai stay at home mom diakui. Saya sempat berpikir bahwa jadi ibu rumah tangga itu mulia, ketimbang harus bekerja di kantor dan menitipkan anak pada orang tua atau nanny. Karena alasan itulah saya jadi membandingkan stay at home mom dan working mom. Saya berpikir, enak ya bekerja, bisa refreshing, bertemu teman, meskipun pusing dengan bos atau pekerjaan kantor yang segunung, tapi paling tidak punya tugas lain selain hanya jadi ibu di rumah. Mungkin ibu lain punya alasan berbeda dengan saya. Tapi begitulah yang saya rasakan dulu.
Menurut Nanda bekerja bukan mencari me time. ”haha nggak juga kok.. anakku sudah 18 bulan kalau pulang telat bisa-bisa cari ibunya. Jadi kalaupun ada acara malam udah jaminan nggak akan ikut. Ataupun kalau mau ketemuan sama sahabat I always choose weekend than weekdays, supaya bisa bawa anakku”, jelas Nanda.
Seiring dengan waktu, saya banyak membaca buku lagi, datang ke komunitas untuk penyegaran rohani, banyak bergaul kembali (hal yang jarang sekali bahkan tidak pernah saya lakukan selama 9 bulan mengurus anak) dan bertemu teman-teman sesama ibu, baik working mom dan stay at home mom, banyak sharing, disitu pikiran saya pelan-pelan mulai terbuka .
Untuk healing dan refreshing, selain menulis blog, saya menyempatkan olahraga dan datang ke event komunitas sesama ibu esperti komunitas haloibu.id . Saya mulai percaya pada ibu saya dan pengasuh yang pinjam dari mertua, untuk menitipkan anak di rumah kepada mereka kalau saya pergi seharian. Ketika pergi, saya merasakan apa yang working mom rasakan, campur aduk rasanya meninggalkan anak di rumah. Dan saat kembali ke rumah, bertemu anak yang memanggil nama kita, memeluk kita, energy seakan direcharge. Lupa akan lelah. Saya jadi ingat cerita Nanda saat baru pulang kerja bertemu anaknya.
Pilihan
Nanda memilih bekerja, tapi tidak mengurangi esensinya sebagai Ibu. “Buat full time mom.. Aku sangat salut sama kesabaran dan mental toughness kalian menghadapi bayi atau toddler seharian dengan semua polanya. Pasti seneng banget kalian pagi-pagi ajak main sepeda brg ke taman, sore-sore liat ondel-ondel lewat sambil gendong anak. Atau mungkin eksperimen menu masakan tiap harinya sampai jago dan enak banget masakannya buat keluarga. Percayalah kami ingin suatu saat seperti kalian. Tapi ada yang kami tidak bisa tinggalkan , suatu alasan bukan untuk kami pribadi tapi untuk keluarga kami sehingga kami harus keluar rumah 8 jam seminggu 5 hari dan menitipkan anak kami kepada orang lain. Tapi kami selalu berusaha memenuhi apa yang hilang dari 8 jam seminggu 5 hari kami tahu mungkin tidak cukup atau tidak sebaik kalian stay at home mom tapi KAMI SELALU BERUSAHA SETIAP HARINYA.. Jadi terima kasih untuk kalian yang bisa menghargai pilihan hidup kami .Saya yakin walau kita beda cara pengasuhan, sepanjang hidup kita di jalan yang benar, pasti akan berkah, dan kita punya satu tujuan yaitu membesarkan anak dengan kasih sayang, hingga sesuai dengan harapan. Lebih enak bukan jika tanpa menghakimi? Dan lebih seru jika mau mengerti satu sama lain” , Ujar Nanda.
Saya sadar kalau kami masing-masing ibu punya pilihan berbeda. Pilihan setiap ibu pasti punya tujuan baik di belakang, yaitu membesarkan dan merawat buah hatinya dengan sepenuh jiwa raga. Semakin ke sini semakin terbuka hati dan pikiran saya. Tidak lagi menilai diri saya rendah karena hanya ibu rumah tangga, tidak lagi mengecilkan pilihan ibu lain, bahkan semakin ingin mendengarkan cerita dan pengalaman dari siapapun. Karena ternyata, dari cerita ibu lain lah saya banyak belajar, memilah-milah mana pengalaman mereka yang bisa saya kagumi, dan yang bisa saya jadikan pelajaran.
Mungkin nih, sikap saling membandingkan seperti ini adalah bagian dari pospartum distress atau postpartum depression. Apakah benar seperti itu? Mungkin bisa ditanya dengan psikolog, atau boleh dikoreksi di kolom komen.