Tadinya saya kira semua proses untuk anak kedua akan terasa lebih mudah, sesimpel karena, paling tidak, sudah pernah menjalaninya saat merawat anak pertama. Ternyata, tidak semudah itu.
Saya hamil lagi saat anak pertama saya berumur 10 bulan. Kaget, takut, khawatir, dan senang rasanya campur aduk menjadi satu. Memang saya bercita-cita untuk memiliki anak dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Tapi rasanya tetap deg-degan saat mengetahui adanya garis dua di testpack.
Setelah konsultasi dengan dokter kandungan dan dokter spesialis anak, keduanya menyatakan aman untuk saya tetap melanjutkan menyusui. Sebagai ibu idealis tentunya saya ingin tetap melanjutkan menyusui anak pertama, walaupun banyak sekali komentar-komentar dari pihak keluarga maupun pihak luar tentang hamil dan menyusui.
Singkat cerita, kehamilan saya berjalan lancar hingga anak kedua lahir. Tanpa saya ketahui sebelumnya, ternyata merawat newborn dan batita berhasil membuat saya menangis hampir setiap hari. Saya merasa sangat lelah dan seperti tidak mempunyai otonomi atas diri saya sendiri. Rasanya ingin melepaskan diri dari bayi-bayi yang menyusui, tapi tidak bisa. Tandem nursing tidak semudah artikel-artikel yang saya baca. Setidaknya bagi saya sendiri.
Saya sampai ingin melakukan konseling untuk meminta bantuan dalam menata perasaan saya, tapi entah siapa yang dapat mengerti. Ahli laktasi? Atau psikolog? Tapi kok ingin mengajukan proposal konseling ke suami saja rasanya saya terlalu berlebihan.
Saya juga menjadi lebih sensitif terhadap suami. Saya yang seharusnya merasa senang apabila suami menjalankan hobinya tapi justru sedih, kadang juga marah. Terkadang ingin melampiaskannya namun saya urungkan karena dia tidak salah. Saya mungkin hanya iri, ingin juga bersosialisasi seperti suami. Tapi saya seperti terperangkap di rumah. Terutama 40 hari setelah melahirkan.
Saya bingung dengan diri saya, saya tidak merasakan kesedihan dan kemarahan sedalam ini pada masa postpartum anak pertama. Sebagai bentuk usaha mencari jawaban, saya memutuskan untuk mengikuti postpartum talk yang diadakan oleh haloibu.
Ternyata, saya tidak sendirian. Ibu-ibu lain juga merasakan kesedihan saat menjadi ibu. Dalam satu waktu, tubuh ibu yang masih harus recovery dari proses persalinan, juga sudah ada kewajiban baru untuk menyusui dan merawat bayi. Sebagai ibu kita memang bukan seorang superman yang bisa melaksanakan semua hal. Ibu butuh support system, untuk tetap seimbang secara lahir dan batin. Sedih atau bingung wajar sekali dirasakan karena memang kehidupan seorang ibu pasti berubah. Tidak lagi bisa tidur sesukanya, atau pun bekerja dengan tenang tanpa memikirkan anak. Transisi seseorang menjadi seorang ibu tidaklah mudah, dan membutuhkan effort yang luar biasa.
Dengan memahami proses transisi seorang ibu yang dijabarkan oleh Mbak Ashtra Dymach dalam postpartum talk, saya mulai berdamai dengan diri sendiri. Saya menerima perasaan saya, tanpa ekspektasi tinggi. Saya dan suami memutuskan untuk mencari asisten rumah tangga yang bisa membantu pekerjaan saya di rumah. Tidak menginap, cukup datang setiap hari kerja. Saya juga suka menjadwalkan waktu untuk keluar rumah, sesimpel seperti bertemu tetangga atau bermain ke taman. Bertemu orang lain terutama sesama ibu rasanya seperti me-recharge diri saya kembali. Sesekali “berlibur” ke rumah orangtua atau mertua juga sangat membantu bagi saya.
Seiring berjalannya waktu saya mulai mengikuti ritme dengan 2 anak, memang tidak mudah, terkadang hari-hari terasa sulit dan panjang. Tandem nursing juga masih saya lakukan, namun kali ini tanpa tangisan.
Kalau sedang lelah sekali saya sudah tidak sungkan atau gengsi meminta bantuan. Karena ternyata perasaan ibu yang tertata dengan baik itu sangat penting untuk menjalani hari.
Semangat ya, ibu!
Shierly Desliyani