Mega teringat kembali betapa beratnya perjuangan yang telah ia lakukan untuk melahirkan seorang anak. Tidak terhitung berapa banyak obat-obatan yang telah ditelannya kala itu. Ia selalu berharap sel telurnya membaik dan bisa segera hamil.
Mega mengidap PCOS (polycystic ovarian syndrome) atau kondisi kesehatan yang umumnya baru terdiagnosis saat perempuan merencanakan kehamilan. Kondisi ini juga seringkali membuat perempuan sulit hamil.
Mega sendiri melakukan berbagai cara demi bisa memiliki anak dari rahimnya sendiri. Selain berobat, ia juga menjalani pemeriksaan secara rutin ke dokter kandungan. Biaya yang dikeluarkan tentunya tidak murah. Ia harus merogoh kocek sampai Rp1,5 juta setiap bulan.
Mega berhasil mengandung putra pertamanya setelah dua tahun berjuang. Namun, setelah melahirkan, ia didiagnosis mengalami tumor otak.
“Kepalaku terasa pusing terus, aku kira hanya efek hamil, taunya kena tumor otak,” ungkap Mega kepada HaloIbu.
Selain penyakit organ dalam seperti yang dialami Mega, setiap perempuan umumnya berisiko mengalami gangguan kesehatan setelah melahirkan, dimana gejalanya biasanya muncul sejak hamil.
Selama masa kehamilan, perempuan mengalami perubahan hormon yang bisa menyebabkan berbagai masalah seperti komplikasi kesehatan hingga gangguan mood. ndonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2023 mencatat 32% ibu hamil mengalami depresi dan 27% ibu depresi pascamelahirkan
Dari perjuangan yang telah dilaluinya, Mega tidak menyangka pemerintah bisa dengan mudahnya meminta setiap perempuan harus melahirkan satu anak perempuan demi meningkatkan angka kelahiran negara. Bagi ibu beranak satu itu, setiap anak adalah anugerah terlepas dari apa itu jenis kelaminnya.
“Emangnya pemerintah itu Tuhan bisa ngatur jenis kelamin anak?” ujarnya.
Sebagai informasi, beberapa wilayah di Indonesia saat ini angka kelahirannya berada di bawah 2, sementara angka kelahiran ideal adalah 2,1. Pemerintah khawatir angka tersebut terus menurun dalam beberapa tahun ke depan sehingga jumlah penduduk semakin berkurang.
Namun, alih-alih merencanakan solusinya, pemerintah justru berharap rata-rata perempuan bisa melahirkan satu anak perempuan. “Sebetulnya rata-rata perempuan punya dua anak itu penting, tetapi rata-rata (idealnya) satu anak perempuan, bukan mewajibkan. Kalau depan rumah punya anak perempuan dua, belakang rumah enggak punya anak perempuan tidak masalah,” ungkap Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo dalam keterangannya, Senin, (8/7).
Menurut Dokter Spesiaslis Kandungan dan Kebidanan, Ivander Utama, secara alami, perempuan tidak bisa merencanakan program kehamilan yang menargetkan jenis kelamin secara spesifik. Terlebih, faktor yang paling menentukan jenis kelamin adalah sel sperma.
“Kita ga bisa merencanakan program hamil alami untuk mendapatkan jenis kelamin tertentu. Semua probabilitasnya hanya 50 persen,” kata Ivander kepada HaloIbu.
Ivander menuturkan, memastikan kelahiran anak dengan jenis kelamin spesifik hanya bisa dilakukan melalui program bayi tabung. Namun, biayanya relatif mahal.
Dari data yang dihimpun HaloIbu, biaya program bayi tabung bervariasi menyesuaikan usia dan kondisi kesehatan ibu. Ada rumah sakit yang mematok biaya mulai dari Rp60 juta, ada juga yang menetapkan biaya paling sedikit Rp100 juta untuk ibu yang berusia di bawah 35 tahun
“Dengan biaya yang tinggi tentunya nggak semua pasutri (pasangan suami-istri) affordable untuk bisa menjalankan bayi tabung,” kata Ivander.
Untuk mendongkrak angka kelahiran negara, pemerintah mestinya mengambil langkah komprehensif tanpa memandang tubuh perempuan sebagai mesin produksi penduduk. Tidak sepantasnya pemerintah memaksa perempuan untuk selalu hamil dan melahirkan. Sebab, perempuan berhak menentukan sendiri apakah mereka ingin memiliki anak atau tidak.
Seperti yang dilakukan Mega, perempuan bisa saja berjuang menghadapi berbagai risiko kesehatan demi melahirkan seorang anak. Namun, perempuan juga memiliki hak penuh untuk memilih tidak hamil.
Dalam jurnal bertajuk “Otoritas Tubuh Perempuan” yang diterbitkan Universitas Negeri Yogyakarta (2020) dijelaskan bahwa perempuan memiliki otoritas atau wewenang untuk melakukan apapun terhadap tubuhnya. Otoritas ini sejatinya dimiliki oleh setiap perempuan.
“Otoritas tubuh menandakan adanya kebebasan penuh bagi perempuan untuk melakukan kehendaknya pada tubuh yang mereka miliki,” demikian yang ditulis peneliti dalam jurnal tersebut.
Sudah saatnya perempuan bebas mengatur tubuhnya atas keinginannya sendiri. Melahirkan anak atau tidak, memiliki anak perempuan atau anak laki-laki adalah pilihan perempuan atas keinginannya sendiri, bukan intervensi dari pemerintah.