“The moment a child is born, the mother is also born. She never existed before. The woman existed, but the mother, never. A mother is something absolutely new.”
Saya jadi ingat, pertama kali menjadi ibu setelah melahirkan Elora 3,5 tahun lalu. Saya bingung dengan diri saya sendiri saat itu. Saya tahu akan banyak perubahan yang terjadi. Sayangnya saya hanya tau sebatas perubahan fisik saja. Bentuk tubuh berubah. Rambut menjadi rontok, padahal dulu tidak. Payudara membesar sampai harus mengganti ukuran bra, bahkan sampai saya tidak menyusui lagi, ukurannya tidak kembali seperti semula. Ukuran kaki juga ikut berubah. Kulit wajah yang dulu tidak pernah berjerawat, sekarang jadi berjerawat. Ini semua cukup membuat saya kehilangan percaya diri di awal-awal menjadi ibu.
Perubahan lain yang tidak saya sadari adalah perubahan emosi. Suatu hari saya menangis saat menyusui Elora. Tidak ada sebab hanya ingin menangis saja, dan ternyata berulang. Tidak hanya terjadi sekali. Terlalu lelah dan hanya ingin menangis. Emosi saya tidak stabil. Saya merasa bahagia, tapi dengan cepatnya berganti menjadi nelangsa. Ketika ada suatu hal yang tidak sesuai saya cepat sekali marah dan kecewa. Konsentrasi saya menurun drastis, saya menjadi mudah lupa dan seringkali membuat suami kesal karena nggak nyambung saat diajak berdiskusi. Saya pun mengalami gangguan tidur setiap malam.
Perubahan besar lainnya adalah sekitar 6 bulan setelah melahirkan, saya suka merasa sakit di bagian perut. Bagian ulu hati sakit, bagian dada sampai ke tulang-tulang. Dulu saya tidak pernah mengalaminya. Akhirnya baru di tahun lalu saya memberanikan diri untuk periksa ke RS karena sudah tidak nyaman. Akhirnya saya tau saya terkena Gerd. Dokter yang menangani ini hanya berkata kalau gerd ini dipicu oleh banyaknya pikiran, kurangnya istirahat dan mungkin saya masih belum bisa menerima beberapa perubahan yang terjadi saat ini sehingga saya mudah cemas dan gelisah. Saat itu beliau hanya tersenyum, dan saya hanya terdiam. Obat pun tidak diberikan.
Apa yang saya alami saat ini?
Saya bahagia, tapi mengapa saya tidak menikmatinya?
Apakah perubahan ini normal?
Apakah semua ibu merasakan hal ini atau hanya saya saja?
Apa saya terkena Postpartum Depression?
Di Bulan Maret kemarin di Nujuh Bulan Studio, akhirnya saya menyempatkan diri mengikuti Postpartum Education dari haloibu yang dibawakan oleh Mbak Ashtra yang juga seorang Doula Postpartum. Saya belajar banyak. Ternyata semua ibu bertransisi. Banyak ibu tidak sadar kalau dirinya bertransisi saat dia menjadi seorang ibu. Proses transisi ini jika digambarkan mungkin seperti ini.
Astrid yang dulu seorang perempuan single – Astrid yang menikah – Astrid yang menjalani kehamilan pertama – Astrid yang melahirkan – Astrid yang menjadi ibu – Astrid yang bekerja lalu memilih menjadi ibu rumah tangga- Astrid yang memiliki peran baru yaitu menjadi orangtua.
Mbak Ashtra menyampaikan bahwa terlalu cepat melabel diri kita ini terkena depresi klinis kecuali memang ada tanda-tanda mengarah ke psikosis. Ia menyampaikan bahwa proses ini memang tidak nyaman, tapi inilah fase yang harus semua ibu lewati dan semua ibu butuh tau untuk bisa melewatinya.
Rasanya lega mengetahui dan menyadari bahwa ini adalah sebuah proses yang normal. Ternyata saya hanya kaget dengan peran baru ini. Ternyata saya hanya kurang siap menghadapi transisi besar ini. Ternyata saya sudah bukan lagi Astrid yang dulu. This is the new me!
Alexandra Sacks MD, seorang psikiater yang bekerja untuk ibu hamil dan melahirkan, psikiater reproduktif, dan bertahun-tahun bekerja di bidang ini, berkata bahwa perubahan yang terjadi pada diri remaja adalah normal, senormal perubahan yang terjadi pada seorang ibu. Sayangnya tidak banyak yang membahas hal ini. Banyak sekali informasi tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada diri remaja, namun sangat sedikit yang membahas tentang perubahan seorang ibu. Setiap ibu butuh tau penggambaran secara detail tentang proses menjadi ibu.
Banyak pasiennya yang berkata bahwa mereka tidak menikmati proses ini. Apakah mereka punya depresi pasca melahirkan?” Ia memeriksa gejala-gejala diagnosis itu, dan Ia tahu bahwa mereka itu tidak mengalami depresi klinis. Banyak dari mereka tidak percaya dan menganggap mereka sakit, mereka Depresi. Muncullah ekspektasi-ekspektasi yang tidak nyata seperti di bawah ini.
“Harusnya rasanya tidak begini,”
“Saya pikir menjadi ibu membuat saya merasa lengkap dan bahagia.”
“Saya pikir dengan insting saya tahu harus berbuat apa”
“Saya pikir saya akan selalu mengutamakan anak saya.”
Saya mendapat telepon dengan pertanyaan ini dari ratusan wanita, semua khawatir ada yang salah pada dirinya, karena mereka tak bisa mengukurnya. Dan saya tak tahu cara menolong mereka, karena memberi tahu mereka bahwa mereka tidak sakit tidak membuat mereka merasa lebih baik. Saya harus menemukan cara untuk membiasakan transisi ini, untuk menjelaskan bahwa kegelisahan tak selalu berarti sakit.
Alexandra Sacks
Saya semakin percaya kalau semua ibu butuh tahu kalau proses ini adalah normal. Paham dengan apa yang terjadi pada diri adalah hal yang penting untuk buat diri kita jadi ibu yang bahagia.
Membicarakan proses transisi ini, apa yang kita rasakan pada pasangan, keluarga, mungkin bisa menjadi cara untuk merasa kalau kita tidak sendirian dan kita butuh dukungan.
Harapan saya, semoga semakin banyak informasi, buku-buku dan riset yang membahas hal ini dengan rinci. Semoga kedepannya semakin banyak kelas-kelas seperti Postpartum Education diadakan di seluruh kota agar semua ibu punya kesempatan yang sama untuk tahu informasi ini.
Ibu, kamu tidak sendirian. Saya mengalaminya, semua ibu juga mengalaminya. Saya bahagia bisa mengetahuinya sekarang.
Selamat menjadi ibu dan selamat menikmati proses bertransisi!
Let’s watch this video! Alexander Sacks berbicara tentang cara baru menyikapi transisi menjadi ibu.