Setahun belakangan, saya mencoba beberapa terapi self-healing di berbagai tempat di Jakarta. Salah satu metode yang paling saya sukai, tanpa bermaksud promosi, adalah Tapas Acupressure Technique atau disingkat TAT.
Metode ini diciptakan oleh seorang terapis self-healing bernama Tapas Fleming di Amerika pada tahun 1993. Konsepnya adalah terapi mandiri untuk menemukan, mengakui dan menyelesaikan masalah batin kita, lewat serangkaian proses perenungan internal, sambil menyentuh beberapa titik akupresur penting di tubuh kita.
Beberapa minggu yang lalu, saya berkesempatan mengikuti kelas TAT Bersama Mas Reza Gunawan, yeng merupakan salah satu dari tiga fasilitator TAT tersertifikasi di Indonesia. Sejak itu, saya berusaha mempraktekan TAT tiap hari untuk berbagai ketidak nyamanan psikis yang saya rasakan.
Salah satu konsep penting dalam TAT adalah bahwa tiap masalah yang kita alami dan cara kita menghadapinya, terhubung erat dengan trauma yang kita alami di masa lalu. Trauma disini tak harus selalu berupa hal- hal berat seperti kematian orang terdekat, sexual harassment atau bahkan physical abuse. Hal- hal kecil tapi menyakitkan, dan masih teringat hingga kini, seperti dibandingkan dengan saudara, diabaikan teman- teman sebaya atau tidak diterima di sekolah idaman, bisa juga dikategorikan sebagai trauma.
Kita sebenarnya punya banyak trauma masa lalu. Tapi, tak semuanya terselesaikan dengan baik. Sebagian besar justru mengendap di alam bawah sadar dan menjadi bagian dari karakter kita. Sekarang, coba renungkan sebentar;
- Apakah Ibu sering kelepasan membentak anak? Apakah dulu Ibu juga sering menerima bentakan dan perilaku kasar lainnya?
- Ibu sering tanpa sadar merasa terusik atau “tertantang” tiap kali ada perempuan lain yang mengabarkan prestasi atau kabar bahagia di social media? Apakah dulu sering dibandingkan dengan anak tetangga?
- Ibu merasa restless? Tidak pernah puas? Overly perfectionist? Apakah dulu terlalu ditekan untuk selalu menjadi yang terbaik di sekolah atau arena lainnya?
Menurut teori TAT, core problems kita selalu bermuara pada dua hal; orang tua sebagai figur manusia dewasa yang pertama yang kita kenal, dan seksualitas.
Berdamai dengan trauma- trauma masa lalu akan membantu kita menghadapi masalah- masalah yang kini tengah kita hadapi dan yang akan datang. Life is like an ocean; it will offer us endless storms and big waves to conquer, our only option is to become a much better sailor.
Jika merasa perlu bantuan professional untuk sesi self-healing, pastikan ibu memilih fasilitator yang sudah tersertifikasi dan dari lembaga yang kredibel. Ibu juga bisa mengikuti sesi Lingkaran Ibu bersama HaloIbu untuk release session dengan ibu- ibu lainnya yang bisa memahami tanpa merasa perlu menghakimi.
Berdasarkan pengalaman saya sendiri, perjalanan self-healing saya terbagi dalam beberapa proses berikut;
- Mengakui. Ternyata, perlu keberanian untuk membuka kembali luka- luka lama dan mengakui bahwa sebuah pengalaman di masa lalu menimbulkan trauma yang mempengaruhi cara saya merespon beberapa hal hingga kini. Beberapa hal awalnya terlihat remeh, seperti dibully kakak kelas waktu SD, atau dimarahi karena nilai pelajaran Matematika yang tidak sesuai harapan. Tapi, ternyata hal- hal tersebut mempengaruhi cara saya melihat diri saya, melihat masalah saya, dan memperlakukan orang- orang di sekitar saya.
- Membuka diri. Proses self-healing memungkinkan kita mengambil jarak dengan masalah kita dan melihatnya dari sudut pandang yang lain. Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa life is bigger than us, dan beberapa hal bisa saja terjadi tanpa kita harapkan. Apapun itu, kita hanya bisa mengendalikan respon kita terhadap beberapa hal yang terjadi diluar kontrol kita.
- Memaafkan. Menurut saya, proses inilah yang paling sulit. Memaafkan diri kita dan semua orang yang terlibat dalam trauma masa lalu kita. Tapi, proses ini sangat membantu dalam upaya berdamai dengan trauma masa lalu. Seringkali, semakin besar dan mengakar trauma yang kita coba selesaikan, semakin beratlah proses ini untuk dilakukan.
Ibu-ibu, saya pernah membaca di suatu tempat, bahwa kita berkewajiban untuk membesarkan generasi penerus yang tidak perlu menyembuhkan diri dari trauma masa kecil mereka. Anak- anak yang bahagia, yang tak punya beban mental berarti, akan mampu melangkah lebih ringan dan percaya diri untuk mengembangkan diri mereka lebih jauh dan mencapai potensi optimal mereka.
Kita semua punya trauma masa lalu yang perlu kita sembuhkan. Marilah berdamai dengan diri kita sendiri dulu, supaya kita tidak punya residu negatif yang akan kita teruskan pada anak- anak kita.
Because happy moms raise happy kids.
-Mutia