Dear Ibu,
Aku bukan lagi mommy without granny, tapi aku mommy without nanny. Ibuku meninggal 21 hari setelah Nyala – anak dan cucu pertama di keluarga kami, lahir. Satu-satunya hal yang ingin dilakukan orang yang ditinggal meninggal adalah memutar ulang waktu. Hal yang tidak mungkin dilakukan, sama seperti menghidupkan kembali yang sudah mati.
Sedihnya terlalu. Apalagi aku (mengaku) penulis. Penulis, biasanya, punya tendensi untuk melebih-lebihkan sesuatu. Termasuk duka. Mungkin Dukamu Abadi-nya Sapardi Djoko Damono ada benarnya juga untuk perasaan ditinggal ibu. Kalau ibuku masih hidup, sepertinya hidupku akan jadi jauh, jauh, lebih mudah. Jadi ibu baru itu penuh lika-liku, aku tentu butuh ibu (and who doesn’t, anyway?).
Sulit memang menerima kenyataan kalau ibu sudah meninggal. Setiap berkunjung ke rumahnya, she is everywhere, cuma tidak kentara. Sering sekali aku memejamkan mata lama-lama dan berharap ketika kembali membuka mata ibu masih ada, doing her stuffs at home. Saat menulis ini, aku sudah memutuskan untuk berhenti melakukan hal itu. Butuh sembilan bulan lebih untuk bisa menghentikannya.
Aku mulai menikmati kekosongan yang ada di rumah ibu. Melihat tempat tidurnya, lemari baju, sofa tempat ia biasa duduk… hal-hal kecil yang jadi penuh makna setelah orangnya nggak ada. Kosong, tapi bukankah kosong membuka ruang-ruang baru untuk pemaknaan ulang? Sekarang aku bersyukur karena ibu meninggal (di saat yang tepat).
Tadinya, aku iri banget kalau lihat ibu-ibu seumuran jalan-jalan sama ibunya. Si nenek menggendong cucu, si cucu dilimpahi kasih sayang. Setiap kali aku lihat pemandangan itu, aku lihatin terus-terusan. Aku kagum, seperti melihat keajaiban. Tiga generasi jalan-jalan bersama, saling menjaga. Seksi sekali.
Iya, mungkin kalau ada ibu semua akan jadi lebih mudah. Bingung merawat bayi? Ada ibu. Bosen di rumah? Titip aja bayi ke ibu. Mau kerja lagi? Ibu siap sedia merawat cucu. Tenang saja semua beres, ada ibu!
Saat ibu nggak ada, hidupku nggak pernah tenang. But hey, a smooth sea never made a skilful sailor, man! Kutipan ini bukan penghiburan. Semua ibu di luar sana tahu kalau motherhood itu laiknya naik kapal berburu Moby Dick!
~
Untuk yang belum tahu, ibuku adalah cancer survivor. Berhasil survive dari kanker payudara selama 18 tahun. Kondisinya menurun pada 2014 dan meninggal Maret 2015. Kehamilanku bertepatan dengan kondisi kesehatan ibu yang menurun.
Aku dan ibu biasa berdiskusi dan ngobrol tentang (hampir) semua hal. Tahun 2014, di saat ibu sedang sakit-sakitnya kami menjadi semakin dekat. Sudah nggak ada rahasia-rahasiaan, menertawakan ugly truth… yes, 2014 adalah waktu terbaik mengenal ibu. Saat itulah aku berhasil melihat ibu (dan bapak) sebagai manusia, bukan sebagai orang tua.
Walau begitu, power seorang ibu kepada anaknya memang tidak bisa lepas begitu saja. Hampir semua hal yang kulakukan masih harus melalui pendapat ibu, baik diminta atau tidak. Bisa dibilang, saat itu keterpisahan aku dengan ibu belum lengkap. Inilah poin penting di mana aku akhirnya bisa bersyukur ibu meninggalkanku di saat yang tepat, saat di mana aku sangat amat membutuhkannya.
~
“Mbak Kenya, jangan jongkok banyak-banyak lagi hamil…” adalah salah satu saran ibu saat aku hamil muda. Herannya, tanpa cari tahu lebih banyak aku manut saja. Dan kayaknya, aku akan melakukan hal yang untuk semua hal kalau ibu masih ada. Tak bisa dipungkiri, walau aku (mengaku) pintar, kata-kata ibu melebihi segalanya.
Seiring perut yang semakin membesar, ibu semakin lemah. Ibu tidak terlalu banyak cawe-cawe akan kehamilanku karena sibuk mengurus dirinya sendiri.
Di sini aku mulai sadar kalau aku harus menjalani kehamilanku dengan mandiri. Aku nggak bisa mengandalkan ibu untuk memberitahu segalanya. Aku mulai serius belajar dan memberdayakan diri sendiri. Hasil pembacaanku, aku laporkan ke ibu. Dari hasil belajar tanpa ibu, aku semakin mantap melakukan laku gentle birth (walau kuakui usahaku belum maksimal). Ibu saat itu sudah amat sakit, dia hanya manut-manut mendengar penjelasanku, termasuk penjelasan kalau ternyata jongkok saat hamil itu dianjurkan dan perlu!
Ibu mendukung semua keputusan yang berkaitan dengan kehamilan dan proses melahirkanku.
“Bu, aku mau hamil sehat”
“Bu, aku belajar gentle birth”
“Aku nggak mau melahirkan di rumah sakit, aku mau sama Mbak Erie di Depok”
“Aku mau lahiran alami!”
“Aku mau Nyala lotus birth”
Hal-hal yang kuceritakan pada ibu mungkin sesuatu yang baru untuknya, namun ia mendukung tanpa menunjukkan keraguan sama sekali. Bahkan ibu nggak pernah komplain tentang jarak tempat melahirkan yang jauh dari rumah. Pencapaiannya adalah saat ibu bilang “Ibu salut sama keteguhan hatimu” beberapa saat sebelum gelombang rahim menerjang.
Hatiku teguh, pikiranku teduh.
~
Aku ditemani Fahim melahirkan Nyala di klinik mbak Erie di Citayam, Depok. Berdua saja. Ibu mendengarkan proses melahirkan via handphone. Nyala lahir pukul 5 sore. Pukul 7 malam ibu masuk UGD. Dua puluh satu hari kemudian ibu meninggal, meninggalkanku yang baru jadi ibu dalam kebingungan. Bingung yang membuatku terus belajar. Seperti kata dosen kesayangan waktu kuliah dulu “Bersyukurlah kalau masih bingung, tandanya kamu masih berpikir”.
Nyala lahir, ibu pergi. Setipis itulah jarak kehidupan dan kematian. Saat keduanya datang nyaris bersamaan, aku harus menyesuaikan diri dengan cepat. Tiba-tiba di depanku ada bayi kecil yang demanding dan butuh perhatian every single second. Aduh, gimana cara menggendongnya? Kenapa nggak mau lepas dari payudara? Ibu.. ibu di mana? Aku berjalan di rimba motherhood tanpa kompas, tanpa ibu. Sekarang sudah hampir setahun lamanya.
Setelah sekian lama, aku baru menyadari privilege yang diberikan dari kejadian ini, yaitu memegang kendali atas pilihan pengasuhan Nyala tanpa ada drama cekcok dengan ibu. Hal yang baik, bukan? Kekuatan seorang ibu ada di genggaman tanganku, walau tangan ibuku sudah tak bisa lagi kugenggam.
~
Jadi ibu itu laiknya sebuah laku; harus dilakukan dengan passion dan penuh komitmen. Menjalankannya pun tidak semudah menuliskannya di sini. Memang, kalau ibuku masih ada mungkin keadaan akan jauh lebih mudah. Namun, belum tentu lebih baik, kan?
Pada akhirnya, semoga kesimpulan tulisan ini bukanlah sebuah penghiburan atau denial semata.
*tulisan ini dimuat di nyalaterang.com*