Dear Ibu,
Saya mau sedikit curhat. September 2013, saya berumur 24 tahun, saat itu saya diklaim Tuhan sudah siap menjadi Ibu dari seseorang. Saya sendiri belum yakin dengan diri saya sendiri. Memilih menu makanan di restoran saja saya butuh waktu untuk yakin dengan apa yang akan saya saya santap, tak bisa membayangkan bila ada mahluk lain yang harus bergantung hidupnya sepenuhnya pada saya. Ego wanita berumur 20 tahunan, membuat saya hanya memikirkan solo traveling, mencari uang, memotret dan makan enak. Menikah dan punya anak? Tuhan mungkin sedang bercanda.
Dalam ketidaksiapan menjadi Ibu, saya tak pernah punya kemewahan merencakan semuanya. Memang saya sudah mengorganisir cara melahirkan yang saya inginkan, lalu pada hari H, semua itu semu. Hehehe. I cant even eat. At some point my body take over myself, in a good way, and hell it was challenging. Hehe. Apalagi saat Mahija butuh susu, teriakan histeria bayi membuat saya gugup sekali, saya ingin menangis pula pada saat itu, tidak mengerti bagaimana menenangkan Mahija. Those first days always been the most challenging of all, saat pertama kali Mahija sakit saya ingin rasaya menarik sakit dari Mahija dan di berikan sajalah buat saya, jadi Mahija bisa ceria kembali.
But, time flies, like other human, I adapt. Kami mulai mengenal satu sama lain lebih baik. Tangisan Mahija ada bedanya, ada yang ingin susu, bosan dan ada pula yang mengantuk. Dan saya, si wanita egois ini mampu menjadi sosok yang dibutuhkan anak, anak saya sendiri. Mahija hidup. Sehat dan bahagia.
Datanglah saat-saat ketika membaca pengalaman orang lain lewat blog atau forum bahkan buku tidak cukup. Saat hal-hal yang penting perlu dipraktekan dan dikomentari. Saya masih ingat kritikan pertama yang saya dapat saat menjadi Ibu.
Saat pertama kali memandikan Mahija yang berumur 4 hari, mertua saya ada di rumah. Saya diajari bidan cara memandikan Mahija sejak hari pertama Mahija ada di dunia ini. Hari itu adalah hari ke 3 Mahija mandi, dan giliran saya memegang Mahija sendiri tanpa bantuan. Mertua saya, suami, adik ipar menonton saya memandikan Mahija. Saya merasa terpojok dan takut sekali. Mertua saya pun di depan pintu kamar mandi selalu bergumam, “aduh jangan deh, aduh takut yah”. Jujur saya makin gugup. Kegugupan saya membuat saya menyiram muka Mahija dan Ia terbatuk. Makinlah yang menonton bergumam, “aduh jangan udahlah”. Saya sudah mau menyerah, suami saya dengan tegas berkata, “Pasti Ashtra bisa”. Dengan dukungan suami, kepercayaan diri saya kembali dan saya mampu memandikan Mahija sampai Ia pakai baju. Menurut mertua anak saya harus dibedong, padahal saya tidak menyetujuinya.
Kalau tadi dari mertua, kali ini dari Ibu saya sendiri. Saat itu saya sedang memberi ASI, Mahija berusia kira-kira 6 bulan, tumbuh kembangnya luar biasa dan kami pun sudah terbiasa dengan ASI. Ibu saya sendiri saat pertama kali melihat perasan ASI saya berkomentar, “Duh, ASI kamu itu enggak kental. Coba deh tambahin susu formula biar anak kamu gemuk”. Saya terdiam dan merasa tidak percaya diri. Ini bukan terkahir kalinya, salah satu kerabat juga dengan tegas menyuruh saya menyempotkan ASI saya dan mengklaim produksi ASI saya encer dan buruk. Saya berfikir keras dan riset panjang, Tanya sana sini. Saya meyakini diri saya sendiri, produksi ASI saya luar biasa, dan Mahija akan tumbuh sehat dan bahagia karenanya.
Lalu satu hari, saya memposting foto anak saya memakai baju renang di mall, kami sedang mengikuti pesta kostum dan memilih tema hawaian zombie. Kami memposting foto kami sekeluarga di salah satu sosial media. Ada salah satu teman yang berkomentar “ Duh, anak kok di jembreng di Mall”. Hati saya mengernyit. Belum lagi golongan Ibu yang bekerja, non bekerja, cesar, alami, asi, non asi dan lainnya. Kadang tanpa disadari saling mendiskreditkan satu sama lain baik dikehidupan nyata maupun sosial media. As if being mother is not hard enough, why making it harder?
Sebagai Ibu baru saya tak mengerti mengapa para Ibu yang memiliki jam terbang tinggi, kadang lupa menjadi Ibu baru ini tidak mudah. Bergumul dengan perasaan sendiri. mempelajari status baru dan cara hidup baru. Fiuh…..Bahkan dari sesama ibu baru juga suka sekali bersaing memaperkan treatment-treatment yang baik untuk anak mereka yang belum tentu baik untuk anak lain dan begitu juga sebaliknya.
Sampai satu titik, anak saya berumur 18 bulan lebih tepatnya, saya sudah pandai menyaring omongan-omongan mana yang baik untu hidup kami, saran mana yang kami ambil dan mana yang lebih baik di jauhkan dari kuping dan hati. Saya memilih orang-orang yang berada dalam hidup saya, saya tak selalu kumpul dengan sanak saudara yang saya tidak nyaman bersama. Atau bila harus, satu jam juga sudah cukup.
Maka saya berkesimpulan, people will always talk. Have opinion with your life, every inch of it, its not that you’re a celebrity, were just live in society. Kita akan bergesekan, beropini. This is the reason we leave in large group of people to endure yourself, to make you a great people. Agar kita tahan banting dengan keadaan sulit.
Masih ingat dengan pribasa ‘Anjing Menggonggong, Kafilah Berlalu?’. Itu saja yang saya lakukan. Saya memilih informasi mana yang layak saya dengar, saya ambil saran yang baik, selebihnya jangankan mampir di kuping, di depan kuping juga sudah saya usir. Hehe. I wont let my heart crush for things that aren’t worth to hear. People will always talk, and I just walk.
Jadi Ibu, itu seperti pertama kali goreng cabe, ketakutan minyak panas muncrat kena tangan, kita melompat bahkan berteriak, padahal saat digoreng, lama-kelamaan enggak muncrat lagi. It takes time to be a mother,but with time and practice we become great sambal goreng.
I mean mother.
Salam Pedas,
Ashtra