Juga Butuh Recovery
Setelah melahirkan, perempuan mengalami perubahan besar dalam hidupnya. Yang paling kelihatan adalah perubahan fisik, tapi sebetulnya bukan hanya itu saja. Kondisi mental perempuan pasca melahirkan atau postpartum juga berubah, bahkan cenderung tidak stabil.
Bagaimana tidak, perempuan yang baru menjadi ibu harus beradaptasi dengan kehidupan baru. Ia harus bertanggung jawab atas anaknya. Menyusui, merawatnya, dan menyiapkan semua kebutuhan bayi hingga Ia sendiri tak memiliki banyak waktu untuk beristirahat.
Melahirkan memang menjadi momen paling membahagiakan bagi seorang ibu. Namun, di saat yang bersamaan juga muncul rasa cemas, sedih, hingga stres karena khawatir tidak bisa menjadi sosok ibu yang baik untuk anaknya. Belum lagi, mengurus bayi yang baru lahir sangat menguras tenaga dan emosi.
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), di negara berkembang, antara 10-50% ibu yang menjalani masa perinatal (saat hamil hingga setahun setelah melahirkan) mengalami depresi. Setidaknya, satu dari lima perempuan diperkirakan mengalami gangguan kesehatan mental pasca melahirkan.
Di Amerika Serikat, setiap tahunnya ada sebanyak 800 ribu perempuan diperkirakan mengalami gangguan kesehatan mental setelah melahirkan. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia, tercatat sebanyak 22,4% ibu mengalami depresi setelah melahirkan
Ada Dua Penyebabnya: Faktor Biologis dan Sosiologis
Faktor biologis cukup berdampak besar pada kondisi mental ibu setelah melahirkan. Menurut salah satu psikiater dari Indonesia, Dr. Dyani Pitra Velyani, kondisi tubuh dan mental perempuan dapat mengalami fluktuasi hormonal sejak masa pubertas.
Saat melahirkan, hormon estrogen dan progesteron menurun drastis sehingga menyebabkan ibu rentan mengalami depresi. Hormon lain yang diproduksi oleh kelenjar tiroid yang juga bisa turun tajam dan membuat ibu merasa lelah, lesu, dan tertekan.
Dengan kondisi biologis yang belum pulih, ibu juga harus menghadapi berbagai stigma yang menyudutkannya. Konstruksi sosial memandang seorang ibu sebagai sosok terbaik untuk anaknya. Ada juga yang namanya ‘naluri keibuan’, menuntut perempuan yang baru melahirkan langsung bisa menyusui dan mengurus bayinya tanpa bantuan orang lain.
Tesis Pam Regus dari Universitas Georgia (2007) dengan judul The Emerging Medicalization of Postpartum Depression: Tightening the Boundaries of Motherhood menemukan fakta lainnya. Hasil studi menyebutkan bahwa budaya di masyarakat turut berpengaruh atas kondisi mental perempuan pasca melahirkan.
Secara turun-menurun, kita selalu memandang ibu sebagai sosok berkarakter baik. Lalu, masyarakat berpendapat bahwa memiliki bayi adalah momen bahagia tanpa terkecuali. Hal inilah yang membuat ibu tertekan dan depresi ketika menghadapi kesulitan selama masa postpartum.
Tidak sedikit ibu yang masih ragu untuk bercerita dan mengekspresikan perasaan negatif terhadap perannya sebagai ibu. Mereka khawatir dicap sebagai ibu yang tidak ideal atau ibu yang tidak sesuai dengan stigma masyarakat.
Baby Blues dan Postpartum Depression (PPD)
Setidaknya ada dua kondisi mental yang berpotensi dialami perempuan usai melahirkan, yaitu baby blues dan postpartum depression yang selanjutnya disebut PPD. Keduanya memang memiliki gejala yang serupa.
Antara lain yaitu, emosi, mudah lupa, sensitif, dan stres. Namun, PPD menunjukan gejala yang lebih serius dan durasinya lebih lama. Ibu yang mengalami PPD tidak hanya cemas dan stres, tetapi juga kehilangan nafsu makan atau makan berlebihan. Bahkan, PPD juga membuat ibu mulai berpikir untuk bunuh diri.
Baby blues pada umumnya hanya berlangsung sekitar 2-14 hari dan dapat menghilang dengan sendirinya. Sementara itu, PPD dapat berlangsung 6 bulan hingga 1 tahun dan tingkat kesembuhannya lebih sulit.
Menurut Velyani, tingkat kesembuhan baby blues 30 sampai 75 persen, sedangkan PPD hanya 10 hingga 15 persen saja.
Baby blues dan PPD bukanlah kondisi yang diinginkan setiap ibu. Di sisi lain, ibu juga sulit menghindarinya mengingat keduanya disebabkan oleh faktor biologis dan sosio-kultural. Selain menerima kondisi mentalnya, ibu juga harus berjuang memulihkannya.
Jangan Pendam Beban Itu Sendirian, Bu
Masih banyak ibu yang memilih untuk diam dan menutup diri atas kesedihannya. Ketakutan akan pandangan orang lain yang melihatnya sebagai ibu yang tidak baik membuat mereka menyembunyikan semua rasa cemasnya.
Untuk pertolongan pertama, cobalah beranikan diri untuk bercerita pada orang terdekat. Carilah orang yang menurutmu nyaman diajak bercerita. Lihat reaksinya, jika Ia memahami kondisimu dan memberi dukungan, teruslah bercerita padanya.
Jika Ia justru memberikan respon yang membuatmu tidak nyaman, kamu boleh menghentikan pembicaraanmu. Sebaiknya, pergi ke profesional untuk konsultasi tentang perasaan dan kesulitan yang kamu alami. Ikuti saran tenaga profesional tentang kebutuhan obat, psikoterapi, atau saran medis lainnya.
Meski yang mengalaminya ibu, tetapi pemulihan kondisi mental sebaiknya tidak dilakukan sendirian. Dukungan dari orang terdekat seperti ayah dan keluarga akan sangat membantu. Pemahaman yang sama mengenai bergesernya predikat “ibu normal” atau “ibu ideal” juga harus dipahami oleh seluruh keluarga.
Bahwa keluarga terdekat, harus menerima profil ibu dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dan turut membantu pekerjaan rumah yang dahulu hanya dianggap sebagai kewajiban ibu semata.
Layaknya Melakukan Hal Baru, Kamu Juga Butuh Waktu dan Proses Menjadi Ibu
Kondisi mental akan semakin buruk jika ibu di masa postpartum selalu menyalahkan dirinya sendiri. Tuntutan untuk menjadi ibu yang baik membuat banyak perempuan tertekan dan takut salah. Padahal, namanya manusia pasti melakukan kesalahan.
Apalagi, menjadi seorang ibu sama saja seperti profesi baru. Wajar jika kamu bingung, kewalahan, dan berbuat salah. Bukan berarti kamu adalah ibu yang tidak baik, tetapi kamu hanya perlu waktu dan berproses. Sebab, ada banyak hal yang belum kamu ketahui tentang peran ibu.
Ini adalah pengalaman pertamamu memiliki bayi sehingga sangat normal jika kamu melakukan kesalahan. Jadi, berhenti menyalahkan dirimu sendiri ya, bu. Meski ada banyak hal yang tidak sesuai harapanmu, tapi kamu sudah berjuang melakukan yang terbaik.
Sama seperti profesi lainnya, menjadi ibu tentu sangat melelahkan sehingga kamu perlu beristirahat. Saat ada waktu luang, jangan lupa untuk istirahat atau sekadar melakukan aktivitas yang kamu suka. Jika kamu kewalahan, jangan ragu untuk meminta bantuan.
Referensi:
- https://www.motherhood-understood.com/resources
- https://theconversation.com/seperempat-ibu-depresi-setelah-melahirkan-tapi-penanganannya-belum-optimal-mengapa-117205
- https://tirto.id/depresi-pasca-melahirkan-masihkah-ditanggung-ibu-seorang-diri-gtYJ
- https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.2753/IMH0020-7411350105