Setelah melahirkan anak pertama, perempuan menghadapi masa transisi menjadi seorang ibu. Di momen ini, perempuan mulai beradaptasi dengan kondisi baru seperti mengurus bayi, membagi waktu untuk dirinya sendiri dan buah hati, hingga menghadapi perubahan psikologis pasca melahirkan.
Masa transisi menjadi ibu juga dikenal dengan ‘Matrescence’. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dana Raphael yang merupakan seorang antropolog.
Ia percaya bahwa perubahan yang dialami seorang ibu menjadikannya sosok yang kuat dan mampu menjadi profesional di tempat kerja.
Matrescence Mendukung Ibu Kembali Kerja
Kembali bekerja atau mengurus anak sepenuh waktu adalah pilihan sulit bagi sebagian perempuan yang telah melahirkan. Ada dua persoalan yang membuat pilihan ini menjadi sulit.
Pertama, kekhawatiran tidak bisa memberi perhatian dan kasih sayang yang cukup untuk anaknya. Kedua, masih banyak tempat kerja yang tidak ramah untuk seorang ibu baru.
Tidak tersedianya ruangan khusus yang bisa digunakan untuk memompa ASI, aturan yang kurang fleksibel, hingga dianggap tidak kooperatif dengan perusahaan membuat perempuan berpikir ribuan kali sebelum memutuskan kembali kerja.
Padahal, kualitas perempuan sebagai pekerja semakin meningkat setelah menjadi ibu. Tanpa disadari, ada banyak keahlian yang diasah selama masa transisi. Misalnya bekerja dengan cepat, pintar membagi waktu, lebih inovatif, dan pandai menetapkan prioritas.
Keahlian tersebut tidak hanya berguna untuk menjalankan peran orang tua saja, tetapi juga sangat bermanfaat di dunia kerja.
Mengutip dari Forbes, dibandingkan dengan karyawan muda yang belum memiliki anak, para ibu pekerja jauh lebih produktif. Ibu pekerja juga bekerja dengan waktu yang lebih lama dan terbiasa tiba di kantor lebih awal.
Ibu Pekerja Adalah Aset Berharga Perusahaan
Dengan keahlian yang dimiliki setelah menjadi ibu, perempuan semakin profesional di dunia kerja. Kembalinya perempuan ke dunia kerja pasca melahirkan tentu harus didukung dengan lingkungan yang nyaman.
Dukungan yang optimal pada ibu pekerja akan membawa dampak besar bagi perusahaan. Bentuk dukungan yang bisa diberikan perusahaan yaitu memberikan cuti melahirkan dengan melihat kondisi ibu dan anaknya.
Di Indonesia, aturan cuti melahirkan hanya diberikan tiga bulan berdasarkan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, aturan tersebut banyak dikritik karena dianggap terlalu singkat untuk perempuan yang baru melahirkan.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, ketentuan cuti melahirkan di Indonesia memang termasuk salah satu yang terburuk.
Sejumlah negara mulai memberlakukan cuti melahirkan lebih lama, misalnya Swedia yang memberikan cuti selama 1,5 tahun untuk ibu melahirkan dan 1 tahun di Finlandia.
Selain ruang laktasi dan cuti melahirkan, perusahaan juga mestinya memberikan pendampingan menyusui. Hal ini mengingat menyusui bukanlah hal mudah bagi perempuan yang baru menjadi ibu.
Kendati demikian, menyusui sangat penting untuk kondisi biologis ibu dan anaknya. Kegiatan menyusui yang didukung akan membantu pemulihkan kondisi fisik perempuan pasca melahirkan serta meningkatkan rasa percaya diri.
Sudah saatnya perusahaan memandang ibu pekerja sebagai aset berharga. Ahli psikolog, Aurellie Athan mengkritik pandangan sinis perusahaan terhadap perempuan yang sedang bertransisi menjadi ibu.
Menurut dia, perusahaan seharusnya tidak lagi mempertanyakan performa kerja perempuan setelah menjadi ibu. Yang perlu dilakukan perusahaan adalah memikirkan bagaimana cara mendukung ibu pekerja sehingga perusahaan menjadi lebih baik.
“Para pemimpin perusahaan sebaiknya memanfaatkan evolusi fisik dan psikologis perempuan yang sedang bertransisi menjadi ibu,” ungkapnya.
Stepha Lafond, seorang aktivis yang sering mengadakan kelas motherhood mengatakan bahwa kualitas perempuan semakin meningkat setelah menjadi ibu.
“Para ibu bersemangat, inovatif, dan mengadvokasi tidak hanya untuk anak-anak mereka tetapi juga untuk orang lain,” katanya, dikutip dari Forbes.
Referensi:
https://www.matrescenceskin.com/blogs/in-the-glow/matrescence