Bu, apa yang pertama kali terbesit di pikiranmu saat mendengar kata ‘netizen’? Orang-orang yang suka marah di media sosial, orang yang sering berkata kasar, atau yang sering bikin jagat dunia maya heboh karena bereaksi berlebihan saat ada suatu peristiwa?
Pada dasarnya, istilah ‘netizen’ memiliki arti warga internet. Istilah ini hanya sebatas menunjukan orang-orang yang menggunakan internet. Tapi, kenapa belakangan ini netizen lebih dikenal sebagai sekelompok orang yang agresif, ya?
Pernah bertanya-tanya enggak sih, bu kenapa belakangan ini orang-orang sering marah di media sosial?
Jawabannya, sudah pasti dipengaruhi oleh karakter orang itu sendiri. Selain dari faktor personal, ternyata marah-marahnya pengguna internet juga dipengaruhi oleh kondisi cuaca ekstrem saat ini.
Cuaca ekstrem yang menimbulkan suhu terlalu dingin atau terlalu panas terbukti dapat membuat perilaku kita semakin agresif.
Berdasarkan studi dalam jurnal The Lancet Planetary, tingkat ujaran kebencian di media sosial berpengaruh pada kondisi cuaca. Saat cuaca ekstrem, dimana suhu luar ruangan terlalu dingin atau terlalu panas, perilaku manusia akan semakin agresif di media sosial.
Studi ini menganalisis 4 miliar konten Twitter dari pengguna di Amerika Serikat antara tahun 2014 – 2020. Para peneliti menggunakan Artificial Intelligence (AI), lalu menghubungkannya dengan data cuaca
Hasilnya, ujaran kebencian meningkat sebanyak 12% saat suhu luar ruangan di bawah 12°C dan melonjak hingga 22% saat suhu luar ruangan di atas 21°C.
Studi ini mengingatkan kita bahwa cuaca ekstrem tidak hanya berdampak pada lingkungan, tapi juga berpengaruh pada perilaku manusia
Penyebab Lainnya
Cuaca ekstrem bisa dikatakan sebagai faktor eksternal yang menyebabkan kita semakin mudah kepancing emosi. Lalu, apa faktor internalnya?
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, salah satu faktor internalnya adalah karakter dari orang itu sendiri. Netizen atau pengguna internet yang kerap emosi dan menyebarkan ujaran kebencian umumnya memiliki prasangka negatif terhadap seseorang atau kelompok tertentu.
Selain itu, adanya perilaku trolling dari pribadi netizen. Trolling sendiri merupakan perilaku berkomentar, mengirimkan pesan, atau bereaksi pada suatu unggahan media sosial dengan tujuan untuk membangkitkan emosi orang lain.
Jadi, tujuan netizen yang berperilaku trolling hanyalah untuk mendapatkan reaksi dari orang lain.
Menurut pakar psikologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Haidar Buldan Tantowi, orang yang senang melakukan trolling biasanya akan mendapatkan kepuasan atau kenikmatan saat komentar atau pesan yang mereka kirimkan menuai reaksi dari orang lain.
“Mereka melakukan itu karena menyenangkan, itu menghibur bagi mereka. Jadi bukan karena mereka ingin memperoleh status yang lebih tinggi, bukan masalah uang atau bukan masalah apapun, (tapi) niatnya itu murni untuk menghibur diri mereka sendiri,” ujarnya, dikutip dari situs web resmi UGM.
Selain kepribadian dan perilaku trolling, faktor internal juga mencangkup ruang lingkup media sosial yang memungkinkan setiap orang mendapatkan anonimitas. Di media sosial, siapa pun bisa menyamar atau menutupi identitas diri.
Dengan kondisi anonimitas tersebut, seseorang akan menjadi lebih berani dan leluasa melontarkan ujaran kebencian.
Karena mendapat anonim, maka para netizen lebih berani untuk menyampaikan pandangan mereka.
Nah, buat kamu yang suka ke-trigger marah-marah di medsos, coba pikirkan lagi apa yang akan terjadi setelahnya. Jangan sampai jari-jari yang kita gunakan untuk berkomentar di medsos melukai orang lain dan menimbulkan konflik.
Referensi: