Cuti haid belakangan ini menjadi sorotan setelah Spanyol berencana melegalkannya dalam sebuah undang-undang. Setelah regulasinya disahkan, Spanyol akan menjadi negara Eropa pertama yang memberikan cuti haid kepada perempuan selama tiga sampai lima hari setiap bulan.
Indonesia sebetulnya sudah lebih dulu menggagas dan menuliskannya dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan mengenai cuti haid diatur dalam pasal 81 ayat 1 yang berbunyi:
“Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid”
Pasal tersebut tidak menjelaskan bagaimana pekerja perempuan harus memberitahukan perusahaan ketika mengalami nyeri haid. Artinya, tidak diperlukan surat dokter untuk menggunakan cuti haid.
Cuti haid berbeda dengan cuti melahirkan dan cuti tahunan. Apabila pekerja perempuan mengambil cuti haid, maka jatah cutinya yang wajib diberikan perusahaan setiap tahun tidak boleh dikurangi.
Tak hanya itu, perempuan yang mengambil cuti haid juga tetap dibayar, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 93 ayat 2 poin b yang berbunyi:
“Pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan”
Sementara itu, bagi perusahaan yang tidak memberikan hak cuti haid kepada pekerja perempuan akan dikenakan sanksi. Yaitu, sanksi pidana penjara 1 bulan hingga 4 tahun. Perusahaan juga bisa didenda Rp10 juta sampai Rp40 juta.
Mengapa Cuti Haid Penting?
Meskipun perempuan mengalaminya setiap bulan, tetapi rasa nyeri haid tidak bisa dianggap sepele. Bagi sebagian perempuan, rasa sakit di perut bagian bawah sangat menyiksa sehingga tidak dapat beraktivitas seperti biasa kala nyeri itu melanda.
Saat haid, dinding rahim akan berkontraksi kencang untuk mengeluarkan sel telur yang tidak dibuahi. Kontraksi juga menekan pembuluh darah yang mengelilingi rahim sehingga suplai darah dan oksigen ke rahim terputus. Kondisi inilah yang umumnya menimbulkan rasa nyeri.
Tahun 2017, YouGov pernah melakukan survei terhadap 1.012 perempuan Indonesia. Hasil survei menyebutkan bahwa 90% perempuan pernah mengalami nyeri haid dan sebanyak 87% mengakui nyeri haid mempengaruhi produktivitas kerja karena sulit berkonsentrasi.
Survei lainnya yang diterbitkan dalam American Journal of Obstetrics and Gynecology (2019) menyebutkan bahwa 77% dari 43 ribu perempuan mengalami gejala gangguan mood dan 71% lainnya merasa kelelahan ketika haid. Sementara itu, lebih dari 35% responden mengatakan mereka tidak bisa melakukan semua aktivitas sehari-hari saat haid.
Mengutip Reuters, banyak perempuan yang memilih tidak menceritakan kepada orang terdekat seperti keluarga ketika mengalami nyeri haid. Mereka juga tidak ingin menjadikan menstruasi sebagai alasan untuk beristirahat dan mengurangi produktivitas.
Peneliti dari Radboud University, Belanda, Dr. Mark Schoep mengatakan bahwa sakit menstruasi masih tabu dibicarakan. Banyak perempuan berpikir bahwa rasa nyeri tersebut adalah normal sehingga tak pantas dibicarakan.
“Mereka mungkin merasa tidak dapat diterima ketika membahas masalah ini secara terbuka,” ucapnya seperti dikutip Reuters.
Tidak Semua Perusahaan Mau Memberi Cuti Haid
Indonesia telah melegalkan cuti haid sejak tahun 1948. Namun, kebijakan tersebut rupanya masih dianggap tabu karena tidak semua perusahaan mau memberi cuti haid.
Dinar Utami, seorang pegawai yang bekerja di salah satu anak perusahaan properti mengatakan bahwa tempat kerjanya tidak menghendaki cuti haid. Ia pernah menanyakan hal ini kepada atasannya, tetapi mereka berdalih hanya mengikuti ketentuan dari perusahaan pusat.
“Katanya, HCM (Human Capital Management) ngikutin aturan dari pusat dan infonya berhenti disitu. (Mereka) gak ngedebat masalah aturan (cuti haid) dari pemerintah,” ujarnya kepada HaloIbu.
Akhirnya, Dinar menggunakan cuti tahunan untuk izin tidak bekerja karena haid. “Akhirnya pakai annual leave (cuti tahunan),” tuturnya.
Berbeda dengan Dinar, Angghi Novita yang bekerja di salah satu media nasional justru tidak mengetahui bahwa cuti haid berbeda dengan cuti tahunan. Begitu pun dengan perusahaan tempat Ia bekerja juga tidak terbuka mengenai ketentuan cuti haid.
Karena ketidaktahuannya, Angghi tidak pernah menanyakan hal tersebut kepada pihak perusahaan. Ia hanya menggunakan jatah cuti tahunan ketika merasa tidak sanggup bekerja karena sedang haid.
“Soalnya selama saya kerja, cuti ya cuti tahunan, gak pernah dikasih tahu ada cuti haid. Tapi, saya bisa menggunakan cuti tahunan saat nyeri haid,” katanya.
Sejak Omnibus Law UU Cipta Kerja disahkan November 2020 lalu, ketentuan mengenai cuti haid memang dipertanyakan. Karena tidak dicantumkan, banyak pihak menilai regulasi sapu jagat itu telah menghapus fasilitas yang seharusnya diterima pekerja perempuan yaitu cuti haid, cuti hamil, dan cuti melahirkan.
Meski demikian, hal tersebut telah dibantah oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. Ia mengatakan bahwa ketentuan cuti haid yang tidak tertera di Omnibus Law tetap berlaku dengan merujuk UU Ketenagakerjaan.
“Cuti bagi para pekerja atau buruh di UU Cipta Kerja ini juga tidak menghilangkan hak istirahat saat haid, sakit, saat melahirkan yang telah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Jadi, ketentuan itu tetap berlaku sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,” jelasnya.
Bagaimana pun juga, perusahaan yang tidak memberikan cuti haid akan rugi karena KPI (Key Performance Indeks) serta tingkat kehadiran pekerja perempuan dalam setahun akan menurun. Sebab, tidak semua perempuan mau menggunakan cuti tahunannya dan lebih memilih menahan sakit selama bekerja.
Menurut survei Radboud University, tingkat produktivitas pekerja perempuan turun selama sembilan hari per orang setiap tahun ketika mereka bekerja dengan rasa sakit.
Sebaliknya, pekerja perempuan juga harus aktif menanyakan apakah perusahaan memberikan cuti haid atau tidak. Jika tidak, tanyakan bagaimana perusahaan memberi izin atau keringanan kerja bagi pegawai yang mengalami nyeri haid.
Referensi: