Perdebatan kata ‘perempuan’ dan ‘wanita’ rasanya tidak pernah lekang oleh waktu. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa perempuan lebih tinggi dari wanita, tapi saya rasa kata ‘perempuan’, ‘putri’ ataupun ‘mbak’ sama-sama tidak terlepas dari pelecehan. Jadi, apakah benar kedudukan ‘perempuan’ lebih tinggi dari panggilan feminin lainnya? Untuk menjawabnya, saya coba menelusuri makna kata, sejarah, serta perkembangannya di masa kini.
Menelisik Kembali Per’empu’an di Indonesia
Merangkum dari penelitian yang dilakukan oleh Sudarwati dan D. Jupriono pada tahun 1997, kata ‘wanita’ merupakan bentuk yang lebih lembut dari ‘perempuan’. Penggunaan kata wanita tidak terlepas dari sifat-sifat feminin yang sabar, lembut, patuh, dan mendampingi. Meski dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ‘wanita’ berarti perempuan dewasa, kita tidak dapat menutup mata terhadap teori-teori lain munculnya kata ‘wanita’. Menurut Zoetmulder dalam Old Javanese English Dictionary (1982) dan Prof. Dr. Slametmuljana dalam Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara (1964), ‘wanita’ berarti “yang diinginkan”—tidak terlepas dari makna patriarkis, karena berarti sesuatu yang diinginkan pria, sehingga keberadaan wanita baru diperhitungkan bila telah disandingkan dengan laki-laki. Ada juga teori yang mengatakan bahwa kata ‘wanita’ berasal dari kata betina, yang mengalami perubahakan bunyi.
Kata ini sendiri tampaknya baru digunakan sebagai nama organisasi pada tahun 1950-an, ketika Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) didirikan sebagai gabungan dari enam organisasi perempuan. Nama organisasi ini semakin mencuat, ketika mereka memutuskan untuk mengganti nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) pada kongres pertama Gerwis.
Sebelumnya, organisasi politik feminin di Indonesia banyak menggunakan kata selain ‘wanita’ untuk menamakan organisasinya. Sebut saja, Putri Mahardika (1912), Keutamaan Isteri (1913), Pawiyatan Wanita, Wanito Hado, Putri Budi Sedjati (1915), Pengasih Ibu Kepada Anak Turunan atau PIKAT Minahasa (1917), surat kabar Soeara Perempoean dan Perempoean Bergerak (1914), dan lain-lain.
Berbeda dengan historis ‘wanita’, secara etimologis ‘perempuan’ berasal dari kata ‘mpu yang berarti ‘tuan’, ‘orang yang mahir/berkuasa’ atau dari kata ampu, berarti ‘penyangga’. Kata ini juga dekat dengan kata puan, yang merupakan sapaan hormat pada perempuan. Inilah sebabnya, lembaga-lembaga pergerakan feminin pada saat ini, lebih suka menggunakan kata ‘perempuan’ dibanding ‘wanita’.
Degradasi pergerakan perempuan di Indonesia tidak lepas dari pemberangusan yang dilakukan Orde Baru. Sejak adanya Tritura (Tri Tuntutan Rakyat), Kowani (Kongres Wanita Indonesia) dan organisasi perempuan lainnya tidak merayakan Hari Perempuan Sedunia pada 8 Maret, padahal dalam rentang tahun 1953—1966, peringatan ini sempat dirayakan oleh berbagai organisasi perempuan di masa itu.
Perayaan ini akhirnya muncul kembali pada tahun 1998, ketika Seruan Perempuan Indonesia (SERUNI) mengadakan doa antariman sebagai upaya peringatan Hari Perempuan Sedunia. Gerakan-gerakan nonkekerasan perempuan, hingga saat ini terus merebak dan berkembang dengan mengusung semangat yang sama.
Riwayatmu Kini
Baik ‘perempuan’ maupun ‘wanita’, keduanya memiliki sejarah yang panjang di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, perbedaan kedua kata ini semakin tipis dan seolah-olah saling bersaing. Berbagai pendapat mengenai mana yang lebih terhormat, terus bergulir. Terlepas dari kata mana yang lebih baik, nyatanya saat ini kasus-kasus kekerasan pada perempuan terus bertambah dan tidak semuanya tuntas secara hukum. Artinya, keberadaan perempuan—apapun penyebutannya, sampai saat ini di Indonesia bisa jadi masih belum menjadi prioritas utama di masyarakat. Sudut pandang yang patriarkis, menjadi salah satu penyebab hal ini terjadi.
Berbagai ketidakadilan yang terjadi pada kaum perempuan, seharusnya menjadi tamparan keras bagi kita semua. Alih-alih berfokus pada masalah utama yang ada, masih banyak dari kita yang justru meributkan perbedaan kata. Meski tidak semuanya. Keduanya memiliki makna mendalam dan dan kesejarahan yang panjang. Yang membedakan antara ‘perempuan’ atau ‘wanita’ adalah konotasi yang menempel pada kata tersebut. Keduanya dapat memiliki kehormatan atau pelecehan, tergantung bagaimana seseorang menggunakannya.
Pernyataan di atas tidak bermaksud untuk mengecilkan gerakan-gerakan perempuan yang telah ada—yang menurut saya sudah berjalan dengan baik. Namun, perlu disadari bahwa kesadaran akan keseteraan gender tersebut hanya muncul di segelintir golongan, belum merata di semua kalangan. Menurut saya, pemerataan mengenai keseteraan gender dan hal-hal keperempuanan (atau kewanitaan) sebaiknya menjadi fokus yang utama. Dimulai dari pendidikan di keluarga, hingga ke sekolah-sekolah.
Bangga Menjadi Perempuan?
Sejak era kemerdakaan Indonesia, mulai berkembang sistem budaya yang legitimik bagi perempuan untuk memposisikan diri dalam peranan sosial, karena era kemerdekaan merupakan era egaliter, yang menempatkan laki-laki dan perempuan setingkat, dengan mendasarkan pada motif kemampuan individual.
Di samping secara politis, menjadi perempuan juga kerap dikaitkan dengan lingkungan. Menurut Saras Dewi (dosen filsafat Universitas Indonesia), ekofeminisme muncul karena adanya renungan bahwa dominasi serta diskriminasi yang dialami baik oleh lingkungan hidup maupun perempuan bersumber dari problem yang sama yakni, budaya patriarki, sehingga, perjuangan untuk bumi sejatinya adalah perjuangan demi keadilan dan kesetaraan sosial-ekologis. Ekofeminisme juga muncul karena menganggap perempuan memiliki berbagai kesamaan dengan alam—keduanya rentan dan merupakan pihak yang paling berdampak dalam konflik lingkungan hidup.
Meski begitu, perlu disadari bahwa alam dan perempuan, keduanya juga memiliki kemampuan untuk melahirkan, merawat, dan menyembuhkan. Perempuan juga mempunyai kemampuan untuk dalam usaha pelestarian alam, karena pada dasarnya perempuan mencintai kelangsungan hidup dan bukannya kematian, perempuanlah yang melahirkan anak, maka ia kenal betul arti sebuah kehidupan.
Menjadi Perempuan Indonesia
Belajar dari sejarah kata yang ada, saya rasa tidak ada bedanya di masa kini untuk menggunakan kata apapun. Kita boleh berbangga, karena Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang tidak mengenal gender. Penggunaan ketiga kata di atas memiliki sejarah etimologis yang kuat dan kedudukan yang sama, bahkan dengan ‘laki-laki’. Dalam kata kepemilikan, Bahasa Indonesia tidak membedakan apakah sesuatu dimiliki oleh perempuan atau laki-laki, cukup gunakan ‘kami’, ‘kita’, ‘-nya’, ataupun kata lain yang memang tidak memiliki gender.
Menjadi perempuan Indonesia di masa kini seperti sedang berusaha keluar dari cangkangnya. Jika sebelumnya, kita sering dipandang sebelah mata—baik dalam kehidupan politik, sosial, bahkan hingga ke penggunaan kata, rasanya di hari-hari sekarang, perempuan Indonesia memiliki hak yang hampir sama dengan laki-laki. Termasuk untuk memperoleh pendidikan, fasilitas umum, pemilihan, bahkan untuk duduk di kursi wakil rakyat. Kemampuan kaum perempuan tidak lagi dipandang sebagai hal yang receh, sebaliknya justru mulai “diawasi”, karena menjadi perempuan seutuhnya bukan berarti ‘yang diinginkan’ atau malah disamakan dengan sebutan betina pada binatang, tapi melihat kembali pada kemampuan individu kita sebagai manusia. Meski dalam praktiknya masih jauh dari sempurna, saya rasa hal-hal kecil seperti ini patut kita syukuri dalam kehidupan kita menjadi perempuan di Indonesia—sebuah negara yang rasanya, banyak warganya belum banyak memihak pada perempuan. (ISK)
Sumber :
https://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/betina.html.
https://historia.id/politik/articles/tonggak-tonggak-gerakan-perempuan-indonesia-vogLG/page/3.
https://historia.id/politik/articles/hari-perempuan-tak-diperingati-di-era-suharto-vxJ2o/page/2.
https://magdalene.co/story/ekofeminisme-perempuan-dalam-pelestarian-lingkungan-hidup.