Terdiri dari 16.771 pulau dan 1.340 suku yang tersebar di 34 provinsi, Indonesia memiliki tradisi dan budaya yang sangat beragam. Hampir setiap suku memiliki adat yang berbeda, pun dalam pakaian tradisionalnya. Pada perkembangannya, seiring dengan kedatangan bangsa-bangsa lain ke Indonesia dan munculnya komunikasi perdagangan juga berpengaruh pada gaya berpakaian masyarakat Indonesia.
Danseressen van de Sultan te Jogjakarta (KITLV, ± 1863).
Gaya berpakaian masyarakat Indonesia di masa lalu biasanya menggunakan kain-kain tradisional daerah. Di akhir abad ke-15, laki-laki dan perempuan di Sumatra mengenakan kain yang dililit hingga pinggang dan perhiasan. Pakaian penutup bagian atas tubuh yang dijahit dan berlengan baru masuk ke Sumatra pada abad ke-16 dan 17.
Francois de Vitre, seorang penjelajah Prancis, pada abad ke-17 datang ke Aceh dan mengungkapkan perempuan di sana memakai kain katun dari pinggang sampai lutut, sepotong kain yang menutupi dada hingga pinggang. Walau begitu, ada juga perempuan yang bertelanjang dada, hanya memakai selendang yang disampirkan di bahu untuk menutupi sebagian dada, dan rambut dipotong pendek tanpa penutup. Perempuan Aceh masa itu biasanya menggunakan perhiasan pada telinga, gelang, dan cincin.
Pada abad ke-13, perempuan Jawa Kuno menggunakan kain wulang yang dililitkan pada pinggang sampai batas atas payudara saat upacara. Empat abad sebelumnya, pada relief Karmawibhangga di Boborbudur, perempuan di Jawa Kuno digambarkan tidak menutupi bagian payudara. Perempuan masa itu hanya mengenakan selembar kain dengan panjang sebatas lutut, yang dipakainya dengan cara diputar di badan tepatnya di bawah pusar, dan terkadang memakai selendang di pinggang. Ada model lain berupa kain yang sama, tapi dihiasi dengan ikat serta permata di bagian pinggul dan mengenakan tali polos yang diselempang dari bahu kiri ke pinggang kanan. Bagian kepala biasanya tidak ditutupi, tapi sebagian ditambah hiasan-hiasan.
Di Kalimantan, pakaian antarsuku bisa jadi berbeda motif sesuai dengan kepercayaan suku tersebut. Namun, untuk modelnya sendiri bagi perempuan kurang lebih terdapat bagian atasan tanpa lengan, stagen, dan kain bawahan, dengan hiasan kepala, kalung, dan gelang. Bergeser ke timur, di Papua perempuan menggunakan rok rumbai dari rajutan daun sagu. Pakaian bagian atas memiliki bahan yang hampir sama, tapi di sebagian tempat perempuannya tidak menggunakan pakaian atasan.
Mulai tahun 1940-an, gaya berpakaian perempuan Indonesia mulai dipengaruhi gaya Barat. Menggunakan blouse, rok, celana jins (jeans), dll. Sedangkan penutup kepala bagi perempuan Muslim baru populer di Indonesia sekitar tahun 1980-an.
Pakaian Perempuan dan Catcalling
Seperti yang kita tahu, kasus pelecehan seksual saat ini masih marak terjadi, termasuk pelecehan seksual verbal seperti catcalling. Banyak orang berpendapat, termasuk pelaku catcalling bahwa penyebab catcalling salah satunya karena pakaian yang dikenakan oleh korban ketika terjadi pelecehan.
Meski saat ini pakaian lebih beragam, mulai dari yang terbuka hingga tertutup, pelecehan seksual tetap terjadi. Lalu, bagaimana dengan di masa dulu, ketika pakaian perempuan lebih “terbuka” dibanding sekarang?
Kenyataannya, pada masa-masa perempuan Indonesia masih mengenakan pakaian tradisional yang cenderung lebih terbuka, pelecehan seksual tetap terjadi, termasuk catcalling. Sayangnya, pada masa itu belum ada pencatatan mengenai hal-hal ini, sehingga berapa banyak kejadiannya sangat sulit untuk ditelusuri.
Di masa Majapahit, dalam bab Paradara kitab perundang-undangan agama, orang yang mengganggu para gadis, termasuk berkata manis, akan dikenakan denda sebesar empat tali dan pelakunya mendapat julukan ‘babi’. Hukuman ini berlaku untuk semua orang, tidak memandang pekerjaan, bahkan jika pendeta–jabatan yang pada masa itu tinggi–tetap akan dikenakan hukuman. Selain hukuman berupa denda, seorang pelaku pelecehan seksual sangat mungkin untuk dijatuhi hukuman mati.
Pada Prasasti Canggu (1358 M) yang sebetulnya berisi peraturan tempat penyebrangan di Bengawan Solo, terdapat bagian tersirat mengenai hukuman bagi orang yang melakukan pelecehan seksual. Sebagai contoh adalah tukang perahu yang menyeberangkan istri orang dan memegangnya tanpa ada sebab (misalnya karena terjatuh atau tenggelam) akan dianggap sebagai pelecehan, akan dikenakan hukuman yang berat.
Dengan pakaian yang cenderung lebih “terbuka” terutama pada masa Jawa Kuno, pelecehan seksual kemungkinan memang terjadi. Namun, pelecehan seksual yang terjadi dirasa terjadi bukan karena pakaian yang digunakan, melainkan karena pelaku pelecehan seksual itu sendiri, tanpa menyalahkan korban apalagi pakaian yang digunakannya.
Ruang Aman Bagi Perempuan untuk Berekspresi
Pakaian sering dijadikan “kambing hitam” ketika terjadi pelecehan seksual. ‘Ah, dia kan pakai baju terbuka, pasti memang minta untuk digoda,’ seringkali didengar sebagai pembelaan pelaku peleccehan seksual. Padahal, anggapan untuk menutupi tubuh perempuan dengan pakaian yang pantas agar tidak memancing nafsu para pelaku adalah salah besar. Nyatanya, pakaian yang digunakan tidak ada hubungannya sama sekali dengan tingginya kasus pelecehan seksual.
Menurut Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA), dari 6.200 responden yang diwawancara, 17% korban pelecehan seksual mengenakan rok atau celana panjang, hampir 16% mengenakan baju lengan panjang, 14% memakai seragam sekolah, 13% memakai hijab pendek/sedang, dan sekitar 4% memakai hijab panjang. Bahkan, lima jenis pakaian yang menempati peringkat teratas ketika terjadi pelecehan seksual adalah rok, hijab, baju lengan panjang, seragam sekolah, dan baju longgar. Hal ini tentu semakin membuktikan bahwa tidak ada korelasi antara pakaian yang dikenakan dengan pelecehan seksual.
Salah satu penyebab hal ini terjadi karena budaya patriarki yang terlanjur mengakar di Indonesia, di mana perempuan dipandang sebagai kelompok yang lebih rendah kedudukannya dibanding laki-laki. Hal ini diperparah dengan peraturan yang tidak tegas terhadap pelaku pelecehan seksual, sehingga seolah-olah pemerintah turut melanggengkan praktik ini.
Kalau kita melihat ke belakang di zaman dulu, di mana perempuan banyak menggunakan pakaian terbuka, sampai sekarang hanya ada sedikit catatan mengenai pelecehan seksual di masa itu. Hal ini disebabkan karena para pelaku mendapat hukuman yang setimpal ketika melakukan pelecehan seksual. Di zaman itu, hukuman bisa beragam, mulai dari denda, hingga hukuman mati.
Tentunya ini membuktikan peranan penting pemegang jabatan dalam memberantas kasus-kasus pelecehan seksual. Setelah berbingung-berbingung selama beberapa tahun untuk kasus pelecehan seksual, Indonesia saat ini memiliki titik terang. Beberapa hari lalu, Indonesia akhirnya memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, setelah pembahasan bertahun-tahun. Sebelumnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga mengesahkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Peraturan-peraturan tersebut tidak hanya memberikan hukuman bagi para pelaku, tapi juga memberikan bantuan untuk para korban. Ini tentunya menjadi kemenangan telak bagi para perempuan dan gender marjinal lain di Indonesia. Dengan disahkannya peraturan ini, baik di masa sekarang maupun di masa lalu, negara dan pemerintahan membuktikan hadir untuk keadilan, memberikan pelindungan untuk korban, dan tentunya keinginan untuk memberantas pelecehan seksual.
Referensi:
https://historia.id/kuno/articles/penampilan-orang-aceh-di-masa-lalu-DOw4E/page/3.
https://historia.id/kuno/articles/cara-berpakaian-orang-jawa-kuno-6k4Jq/page/1.
https://mojok.co/terminal/paradara-hukuman-mati-bagi-pemerkosa-di-masyarakat-jawa-kuno/.
https://historia.id/kuno/articles/hukuman-bagi-pelaku-pelecehan-seksual-di-majapahit-vxGbn/page/3.
https://historia.id/kuno/articles/pejabat-yang-bersyahwat-tinggi-6aqz1/page/3.