CONTACT US
Lets share some love updates
Mom Inner Journey
Mom Inner Journey

Meski Sulit, Perempuan Terus Berjuang Untuk Bersuara Di Hadapan Publik

Share:

 

Serial Bridgerton yang kembali tayang di Netflix mengingatkan kita tentang hak-hak perempuan yang dikekang. Bridgerton memang menggambarkan kehidupan aristokrat Inggris pada 1813, tetapi cerita dalam serial ini memiliki kesamaan dengan apa yang dialami perempuan Indonesia di masa lalu. Jangankan untuk bersuara di ruang publik, untuk menyuarakan haknya saja sangat sulit. Contohnya yaitu bersuara untuk memilih sendiri pasangan hidupnya dan mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki. 

Kita bisa berkaca dari perjuangan RA Kartini bahwa perempuan di masa lalu hanya dibesarkan untuk menjadi sosok ibu rumah tangga tanpa bekal pendidikan yang mumpuni. Setelah berkeluarga, perempuan hanya diperbolehkan mengurus domestik dan patuh kepada suami. Ibu rumah tangga atau bukan, perempuan sejatinya memiliki hak untuk bisa mengemukakan pendapatnya.  

Sayangnya, hak itu tidak bisa digunakan oleh perempuan di masa lalu karena mereka tidak memiliki kesempatan. Minimnya pendidikan yang diterima perempuan juga membuat mereka sulit melawan dan cenderung memilih tunduk pada budaya patriarki. 

Belenggu Patriarki yang Menyulitkan Perempuan Bersuara 

Budaya patriarki selalu menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Meskipun saat ini isu kesetaraan gender sudah sering digaungkan, tetapi kenyataannya perempuan masih belum bisa bebas dari belenggu patriarki. Studi yang diterbitkan dalam Jurnal Kajian Bali (2016) menyebutkan bahwa budaya patriarki mengarahkan perempuan untuk bekerja di ranah privat, sedangkan laki-laki di ranah publik. 

Itulah mengapa ketika perempuan banyak beraktivitas di ranah publik, Ia sering dipandang sebelah mata. Perempuan juga dipandang tidak layak untuk berkarir di ruang publik karena memiliki kewajiban mengurus domestik. Problematika tersebut juga dirasakan oleh Menteri Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga. 

Ia mengatakan, perjuangan perempuan untuk bersuara dan didengarkan masih menjadi persoalan hingga saat ini. Hal ini karena budaya patriarki yang masih melekat hingga kesempatan perempuan untuk banyak terlibat di ranah publik yang masih terbatas. 

“Padahal capaian prestasi dan kemampuan perempuan dapat disandingkan dengan laki-laki. Namun sayangnya banyak perempuan tidak memiliki akses seluas laki-laki,” jelasnya. 

Selain itu, ruang publik saat ini juga belum cukup aman bagi perempuan. Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) melakukan survei pelecehan seksual di ruang puiblik selama pandemi Covid-19. Hasilnya, 78% dari 4.236 responden perempuan mengatakan bahwa mereka pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Contohnya di kawasan pemukiman hingga ruang publik online seperti media sosial dan aplikasi chat. Banyaknya kasus pelecehan seksual pada akhirnya menjadi hal yang dipertimbangkan perempuan ketika ingin bersuara. 

Dibutuhkan Keberanian untuk Bersuara dan Didengar Publik 

Perjuangan perempuan mendobrak budaya patriarki perlahan mulai membuahkan hasil. Meskipun ada banyak tantangan yang harus dihadapi, perempuan terus berjuang agar suaranya bisa didengar. Ditunjuknya Maudy Ayunda sebagai Juru Bicara Presidensi G20 telah membuktikan bahwa perempuan juga mampu berbicara di hadapan publik. Bukan hanya berbicara untuk menyampaikan pendapat pribadi, melainkan maju sebagai wakil negara di kancah internasional. 

Bagaimana pun juga, mengemukakan pendapat adalah hak perempuan sebagai warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Selama kita yakin bahwa apa yang ingin disampaikan itu benar, tak ada salahnya untuk mencoba berani bersuara. RA Kartini mungkin tidak akan dikenal sebagai pahlawan nasional jika Ia tidak berani menyuarakan pemikirannya tentang pendidikan perempuan lewat surat yang dikirim ke temannya di Belanda. 

Perasaan takut salah, direndahkan, dan dilecehkan akan selalu kita alami selama berada di lingkungan yang masih memandang perempuan sebelah mata. Namun, jangan jadikan hal tersebut sebagai tembok penghalang yang membatasi kita dalam berbicara. Bu, kamu boleh menyuarakan apa pun yang menjadi keresahanmu, mengatakan keinginanmu, dan menyampaikan apa yang menurutmu benar. Itu semua adalah hak milikmu, hak kita semua sebagai manusia. 

Refrensi 

 

Dwi Reka

Energetic person and women issue observer, a writer

Related
Menengok Lagi Keseruan Festival Ibu: Ibu Menemukan Kembali Jati Dirinya, Ayah dan Anak Ikut Bersenang-senang
PURE CARE, PURE LOVE WITH PURE BABY MEDITATION
LOVE ME FOR ME MEDITATION WITH MAMA’S CHOICE
Tags: #breakthebias, #haloibu, #haloperempuan, #indonesia, #perempuan, #perempuanbersuara, #perempuanbisa, #perempuanindonesia, #stigma, #suaraperempuan, #women
No Comment
Leave a comment!
Your Name*
Your Email*
Your Website
Your Comment
@haloibuid