Menjadi seniman tidak harus memiliki latar belakang pendidikan seni. Itulah yang dibuktikan Ika Vantiani, seniman kolase yang berkarya secara otodidak. Ia belajar sendiri bagaimana membuat kolase menarik dan mampu menyampaikan pesan kepada khalayak. Menurut Ika, semua hal, termasuk seni dapat dipelajari sendiri selama kita rajin, sabar, dan terus kerja keras untuk mempelajarinya.
Lulusan London School of Public Relation (LSPR) itu mengaku tinggal di lingkungan yang terdapat banyak seniman. Ia melihat bagaimana seniman di lingkungannya berproses, mulai dari amatir hingga menjadi seorang seniman berkelas. “Saya tiap hari melihat proses teman-teman saya. Dari sama sekali enggak bisa sampai jago banget. Dari situ saya belajar bahwa semua itu bisa dipelajari,” ungkap Ika kepada HaloIbu, Kamis (17/3).
Hal itulah yang membuat Ika tertarik mempelajari seni meskipun dirinya awalnya hanya memiliki passion di bidang komunikasi. Baginya, membuat karya sama saja dengan berkomunikasi karena ada proses penyampaian pesan dari seniman kepada khalayak. Awal mula Ika menggunakan seni kolase di tahun 2000, karena Ia berencana menerbitkan majalah.
Waktu itu, Ika hanya ingin menyalurkan hobinya di bidang menulis. Namun, untuk membuat majalah diperlukan desain yang menarik, sementara dirinya tidak bisa desain grafis. Sebagai alternatif, akhirnya Ika menggunakan tehnik kolase karena menurutnya teknik dasar kolase juga alat dan bahannya cukup mudah.
Akhirnya, Ika menggunakan teknik kolase untuk majalahnya dalam bentuk zine, media yang dibuat secara mandiri. Majalah ini memuat tulisan-tulisan yang dibuatnya dengan kolase sebagai ilustrasinya. Sejak saat itu, Ika mulai belajar membuat kolase yang lebih bagus dan menarik lagi.
Karya seni kolase hingga saat ini masih ditekuninya. Ia tidak hanya berkarya untuk kepuasan diri sendiri saja, tetapi juga terbuka untuk ajakan kolaborasi, lokakarya, pameran, dan termasuk menerima pesanan. Meskipun Ika tidak selalu membuat karya untuk dijual, tetapi sesekali ada klien yang ingin memesan karya kolase darinya.
“Saya sebagai seniman yang menjalankan 2 peran. Membuat karya sebagai ekspresi diri dan bikin karya dari ekspektasi klien,” ujar Ika.
Ika mengatakan, dirinya tidak menempatkan diri sebagai seniman fultime yang berkarya untuk mendapatkan penghasilan. Menurutnya, hal seperti itu bisa membuat dirinya stres karena ada tuntutan untuk selalu mampu menjual dan memberi nilai komersial pada setiap karyanya. Buktinya, Ika sampai saat ini masih bekerja paruh waktu sebagai Marketing Communication di salah satu perusahaan swasta.
“Jual karya seni itu susah. Saya gak mau dibebani bikin karya supaya bisa makan karena jadi stres banget,” tuturnya.
Sebagai seniman perempuan, Ika juga banyak membuat karya dengan berbagai isu perempuan. Salah satunya yaitu kolase berjudul ‘Booby Envy’. Tema ini diangkatnya dengan melihat bahwa perempuan sering kali membandingkan ukuran payudara dengan perempuan lainnya. Judul Booby Envy tepat untuk melukiskan perasaan iri yang sering muncul saat perempuan saling membandingkan ukuran payudara mereka ini.
“Saya mempertanyakan kenapa perempuan suka membandingkan ukuran payudaranya dengan perempuan lain. Berangkat dari saya sendiri karena saya sering dibully,” ucap Ika.
Salah satu tantangan besar yang dihadapi Ika sebagai seniman adalah perasaan insecure atau cemas karena tidak percaya diri. Perasaan cemas itu sering muncul di saat Ika sedang membuat karya. Namun, Ia tidak mau kalah dan tetap melawan tantangan tersebut. Bagi Ika, insecure harus dilawan dan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Ketika berhadapan dengan perasaan tersebut, Ia selalu berusaha mengabaikannya dan terus melanjutkan berkarya.
Ika juga berpesan kepada semua perempuan untuk tetap melakukan apapun yang diinginkan. Memperjuangkan mimpi dan passion memang sulit, tetapi menurut Ika hal tersebut bisa terus dilakukan selama kita memiliki support system. Misalnya memiliki sahabat dekat yang dapat mendukung dan bersedia untuk diajak berbagi.
Peran sahabat tidak hanya sekadar untuk berkomentar, tetapi juga sebagai orang yang mengerti bahwa passion yang kita jalani itu menyenangkan. Selain itu, Ika juga merasa pikiran untuk bersaing dengan perempuan lainnya perlu dihilangkan. Sahabat perempuan justru bisa menjadi support system yang baik.
“Jangan pernah merasa passion itu gak penting Kenapa kamu masih melakukannya? Berarti passion itu penting. Lakuin saja,” tuturnya.