We need two sides to build the bridge
Pernah ga sih berada di situasi serba salah kaya gini buat Ibu dan pasangan
A : “Ko kamu diem aja sih?”
I : “Gapapa.”
A : “Kamu marah?”
I : “Gapapa.”
A : “Aku salah apa lagi sih? Ngambek mulu. Kalau ada yang salah bilang dong. Emang aku peramal?”
I : “Pikir aja sendiri. Dasar ga peka”
Mudah-mudahan kejadian itu tidak sering terjadi dalam relasi ibu dan pasangan ya. Kalaupun pernah, biasanya yang jadi kendala adalah proses komunikasi yang tidak selalu dalam satu frekuensi. Ternyata durasi lamanya berhubungan dengan pasangan tidak cukup menjadi patokan bahwa kedua pribadi sudah pasti saling mengerti dan memahami. Dan kalau mau dicari, sebetulnya saya dan pasangan memiliki perbedaan yang lebih banyak dibandingkan dengan persamaannya. Mulai dari jenis kelamin, zodiac, shio, suku, social ekonomi, bahkan bahasa cinta kami pun berbeda, dan ini bisa menjadi alasan untuk timbulnya perdebatan.
“Lantas kalau memang berbeda bagaimana? Apakah saya yang harus selalu berubah 100% dari kepribadian demi membuat pasangan dan keluarga bahagia, tapi saya kok ga happy? Apakah saya yang harus selalu berkorban dan menyesuaikan diri?”
Pikiran-pikiran tentang diri yang selalu merasa diri menjadi korban dan sudah berbuat banyak hal tanpa sedikitpun menyadari keinginan dan kebutuhan diri saya sendiri, serta rasa enggan untuk mengutarakan pendapat karena terbiasa mengobservasi pasangan, lalu berasumsi bahwa sudah memahami pasangan dan dia yang tidak mau berusaha untuk sebaliknya memahami saya justru menjadi sumber dari berbagai masalah di waktu yang lainnya. Pun dengan pasangan yang cenderung introvert dan menghindari konflik seringkali memilih untuk diam dan memendam perasaan, kadang harus bertengkar dan ada ledakan emosi satu sama lain, baru kami bisa mengutarakan dengan jujur harapan masing-masing dan apa yang sudah dilakukan untuk pasangan satu sama lain. Bukan karena perhitungan, tapi untuk mematahkan argument dari asumsi yang menurut kami tidak benar.
Ternyata perdebatan, serta perbedaan pendapat dan sudut pandang tidak selamanya buruk.
Seperti pohon yang bertumbuh besar, ternyata butuh teriknya sinar matahari, derasnya hujan, pun dengan terpaan angin. Dan semakin tinggi pohon tentu semakin kencang anginnya. Demikian pula dengan hubungan saya dengan pasangan. Semakin lama, kami semakin menyadari bahwa komunikasi yang baik adalah kunci yang penting dalam mempertahankan hubungan, sehingga hubungan saya dan pasangan jadi lebih seperti sahabat. Dia adalah orang yang pertama kali tahu setiap kali ada masalah, demikian pula saya menjadi orang yang pertama kali dituju setiap saat dia butuh tempat bercerita. Perlu waktu dan membiasakan diri terus menerus untuk bisa membuatnya menjadi konsisten. Kadang memang harus dipancing dengan cerita untuk bisa mengetahui keinginan dan kebutuhan, namun dengan belajar berkomunikasi dengan baik, ternyata membantu mengenali juga yang sebenarnya menjadi keinginan dan kebutuhan diri sendiri. Bukan untuk selalu dimengerti, namun juga belajar mendengarkan dan memahami kebutuhan pasangan.
Seperti cuplikan percakapan ini:
A : “Eh kamu bentar lagi ulang tahun ya.”
I : “Oiya, minggu depan yah.”
A : “Aku belum beliin kamu kado nih. Kamu mau kado apa?”
I : “Hem.. Lagi ga pengen beli apa-apa sih.”
A : “Beneran? Ga pengen beli baju atau sepatu atau make up gitu?”
I : “Lagi ga pengen apa-apa, biar hemat juga sih. Lagian, emang mau dipake ke mana, orang sampe akhir tahun juga paling di rumah aja, HP, laptop juga masih bagus. Paling kalau mau beliin makanan aja buat makan malem pas aku ulang tahun. Biar di rumah gausah masak.”
A : “Ogitu. Okeh.”
Memang tidak mudah mengubah kebiasaan untuk berkomunikasi dengan pasangan yang notabene tadinya orang dari luar lingkup keluarga hingga menjadi bagian dari keluarga yang wajahnya kita lihat, setiap bangun dari tidur. Penyesuaian dalam komunikasi tentu penting untuk dilakukan dari kedua belah pihak. Karena dalam menjalani kehidupan rumah tangga, tentu membutuhkan kerja sama yang baik dari ayah dan ibu.
Ada yang bilang, “It takes two to tango”, betul dan setuju sekali, tapi saya juga suka dengan statement, “We need two sides to build the bridge” karena menjalani rumah tangga itu ada dua pihak dan komunikasi yang baik bisa menjadi jembatan yang kokoh untuk menghadapi perbedaan yang ada di kedua sisi. Bukan selalu menyamakan yang berbeda, namun saling menyesuaikan agar bisa beriringan.