The Silent Predator; Postpartum Depression
Setiap kali mengunjungi teman yang baru melahirkan, selain daripada turut senang karena kelahiran bayinya, saya selalu ingin mengunjunginya lagi beberapa minggu kemudian untuk bertanya;
How are you feeling?- Have you got enough sleep?
Do you want anything to eat?
Karena sesungguhnya bagi saya, 1 bulan pasca melahirkan adalah momen yang hampir traumatis. Semua ekspektasi dan rencana yang saya buat tentang menyusui, istirahat, interaksi dengan putri saya yang baru lahir, dan jalan- jalan ke coffee shop terdekat bubar jalan.
Saya harus menerima kenyataan bahwa saya mengalami postpartum depression. Saya hampir tidak tidur, merasa mendengar putri saya menangis sepanjang waktu, saya menangis hampir sepanjang waktu, dan malas keluar rumah karena selalu merasa jelek. Puncaknya, saya mengalami mastitis dan infeksi parah, dan akhirnya harus dirawat di rumah sakit selama 5 hari saat putri saya belum genap berusia 2 bulan.
Saat itu, saya merasa tidak memiliki informasi yang cukup tentang apa yang mungkin bisa saya alami setelah melahirkan. Ya, saya baca berbagai buku dan artikel tentang menyusui sebagai proses natural, bahwa semua ibu bisa menyusui, bahwa kita akan kekurangan tidur sedikit tapi akan segera kembali beraktivitas seperti biasa, dan lain sebagainya. Tapi sedikitpun saya tidak menyangka bahwa efek masa postpartum pada saya akan sehebat itu.
Beberapa waktu lalu, saya mengikuti PostPartum Education Class dari HaloIbu dan mengetahui bahwa PostPartum Depression secara umum diakibatkan oleh hal-hal berikut;
1. Ketidak seimbangan hormon pasca melahirkan.
2. Kurangnya jam tidur.
3. Kurangnya nutrisi.
4. Isolasi; ibu terlalu banyak bersama bayi tanpa pendampingan orang dewasa lain.
5. Kurangnya kehadiran partner selama masa postpartum.
Tentu tidak semua penyebab tersebut harus terjadi untuk seorang ibu mengalami Postpartum Depression. Pun penting untuk diketahui bahwa PostPartum Depression bukan diakibatkan karena sang ibu kurang bersyukur, tidak mencintai bayinya, maupun kurang iman.
Karenanya, menurut saya penting untuk kita dapat membicarakan isu PostPartum Depression dengan lebih terbuka.
Tantangan periode postpartum dan bagaimana menghadapinya sebaiknya tidal hanya diketahui oleh sang ibu saja, tapi juga oleh orang-orang yang mendampinginya; suami, orang tua, saudara, bahkan staf pengasuh bayi.
It takes a village to raise a child right? And it also takes a village to save a mother from Postpartum Depression.
Mengapa ini penting?
karena menurut saya Postpartum Depression adalah jembatan menuju kasus yang lebih mengerikan, yaitu Postpartum Psychosis. Jika ini sudah terjadi akibat Postpartum Depression yang tidak tertangani dengan baik, sang ibu akan mulai memiliki dan merasionalisasi pikiran berbahaya seperti menyakiti dirinya sendiri atau bayinya.
Postpartum Psychosis membutuhkan waktu yang lebih lama untuk disembuhkan dan diperlukan bantuan ahli untuk menghadapinya.
Saya sangat menyarankan untuk calon orang tua maupun para orang tua baru untuk mengikuti PostPartum Education Class untuk beberapa alasan;
1. Penjelasan yang menyeluruh tentang apa yang terjadi pada tubuh dan pikiran kita pasca melahirkan. No sugar-coating.
2. Perasaan “we’re in this together” ketika mendengar cerita-cerita dari para orang tua yang lain. Hal ini mengurangi perasaan terisolasi yang dapat memicu PostPartum Depression.
3. Penjelasan mengenai perbedaan Baby Blues, PostPartum Depression, PostPartum Depletion dan PostPartum Psychosis. Dengan memahaminya, kita bisa tahu tanda-tanda yang wajib kita waspadai.
So Ibu, if you are reading this while craddling your newborn baby, and you feel so tired that you want to cry, I feel you. Ibu tidak sendiri, dan proses ini tidak menjadikan Ibu sebagai ibu yang buruk. Mintalah bantuan jika perlu, berceritalah sebanyak yang ibu mau pada orang yang ibu percaya, dan ketahuilah bahwa hal inipun, akan berakhir.
We love you, Ibu.