Halo, Ibu! Mungkin beberapa waktu belakangan ini, kata decluttering sedang naik daun di media sosial ya? Apalagi ketika serial tentang berbenah ala Marie Kondo mulai ditayangkan di Netflix, mulai bertebaran meme-meme dengan keyword decluttering dan spark joy yang seolah menjadi trademark khasnya Marie Kondo.
Sebenarnya, apa sih decluttering itu?
Secara terminologi, declutter adalah menghilangkan clutter dari tempat yang kotor atau tempat yang terlalu penuh. Clutter adalah barang/hal-hal yang tidak diperlukan tersebut. Nah, clutter itu bisa berupa apa saja sih? Bisa berupa barang-barang yang tidak terpakai, sisa konsumsi, atau pemikiran yang tidak diperlukan di dalam pikiran kita, termasuk clutter pikiran juga lho, Ibu.
Dalam konteks clutter yang berupa barang, terbayang tidak jika kita hidup dikelilingi clutter?
Sebagai seorang Ibu, ruang tinggal tentu menjadi suatu hal yang punya kaitan erat dalam peran kita di dalam rumah. Dalam tataran masyarakat pada umumnya, porsi tanggung jawab kerapian dan kebersihan rumah biasanya berada di tangan ibu. Rumah bagus itu relatif, tapi rumah rapi atau berantakan bisa terukur lho, Ibu.
Ibu percaya tidak, kita dikaruniai otak yang luar biasa oleh Sang Pencipta? Ketika mata menyerap informasi berupa cahaya, otak memproses informasi-informasi yang masuk, dan setiap hal yang terlihat oleh mata kita dalam hitungan detik saja sudah diproses oleh otak. Jadi terbayang kan ketika kita melihat satu rak penuh yang berisi buku, berapa banyak informasi yang diproses dibandingkan dengan ketika kita melihat hanya 1 buah buku. Seperti itulah otak memproses informasi ketika rumah kita berantakan dan pikiran rasanya mumet. Kemudian kita bayangkan jika informasi clutter itu kita lihat setiap pagi, siang, sore dikali 7 hari dan seterusnya.
Jika kita secara sadar sudah merasa perlu mengeliminasi hal-hal yang tidak kita perlukan dan hanya fokus pada yang kita inginkan, percaya deh Ibu, kita bisa melakukan perubahan besar tidak hanya terhadap hal-hal yang bersifat fisik tapi juga bersifat psikologis. Ini yang saya rasakan ketika saya mulai decluttering barang-barang dirumah.
“Aku belum ada waktu.”
“Aku sudah coba declutter, tapi menyerah di tengah jalan.”
“Aku sudah selesai berbenah, tapi, dalam beberapa waktu, berantakan lagi tuh! Mustahil deh rumah berpenghuni bisa rapi terus.”
Mungkin ada yang familiar dengan pernyataan diatas, Ibu? Saya sangat familiar dengan statement diatas karena saya pernah berkata demikian. Been there, done that. Tiga pernyataan itu terjadi dalam kurun waktu yang berbeda. Pernyataan pertama ketika saya sudah membeli buku Marie Kondo “Spark Joy” dan “The Life-Changing Magic of Tidying Up” di pertengahan tahun 2016. Ketika saya mulai membaca, saya terkagum-kagum dengan gagasannya. Tapi ternyata perlu beberapa bulan terlewat untuk saya benar-benar tergerak untuk merapikan sesuatu – yaitu dorongan karena adanya kebutuhan untuk memperbaiki situasi rumah.
Pernyataan yang kedua saya ucapkan kira-kira di awal tahun 2017. Saat itu saya baru mulai mensortir kategori pakaian. Rasanya saat itu sudah selesai tersortir, tetapi tidak berlanjut ke kategori berikutnya karena terdistraksi kegiatan lain. Pada prakteknya ketika saya terburu-buru dalam mengambil pakaian, saya tidak mengembalikan pakaian yang tidak jadi dipakai ke tempat sebagaimana sebelumnya. Awalnya rapi, kemudian menjadi sedikit berantakan, lalu berantakan betulan. Aplikasi ilmu Marie Kondo pada saat itu hanya metode lipat per baju saja, dengan susunan ala kadarnya. Rumah kembali pada situasi awal: masih berantakan.
Saya akhirnya menyimpulkan bahwa perihal berbenah ini mirip seperti hutang kartu kredit yang tidak dilunasi. Jika menunggak berulang kali, kena bunga berbunga. Sekali kita membiarkan barang bertumpuk, berikutnya kita akan menumpuk barang kembali di tempat itu (maupun tempat lain), dan seterusnya. Tiba-tiba sudah menjadi tumpukan barang berserakan dan semakin tidak selera untuk membereskannya.
Pada bulan September tahun 2018, saya diinformasikan oleh seorang teman tentang adanya kelas online yang menggunakan metode KonMariTM oleh komunitas Gemar Rapi (saat ini komunitas tersebut sudah tidak menggunakan metode KonMariTM, jadi saat itu kami adalah angkatan terakhir yang mempelajarinya). Belajar berbenahnya secara online bersama-sama dengan peserta lain dan di aplikasikan dirumah masing-masing. Ada sistem pengumpulan tugas dan penilaian. Saya pikir ini menarik dan membuat saya bersemangat. Akhirnya saya mengikuti kelas tersebut dan berbenah secara total dirumah. Dengan total masa program sekitar 3 bulan, 1 bulan-nya khusus membahas pola pikir & gaya hidup. Ternyata berbenah bukan sekedar memahami teori dan mempraktekkannya saja lho Ibu — lebih dari itu. Kami diminta untuk mendefinisikan kembali pola pikir tentang gaya dan tujuan hidup.
Ternyata, berbenah hanyalah salah satu tools untuk kita mencapai tujuan hidup yang lebih penting. Jika kerapian rumah menjadi tujuan akhir, niscaya tidak akan pernah tercapai karena rumah yang masih memiliki kehidupan di dalamnya tidak akan steril.
Oh iya, jika ibu belum familiar, Marie Kondo adalah seorang wanita Jepang yang memiliki passion berbenah sejak usia TK. Kegemaran itu berlanjut hingga dia dewasa, dan dari pengalamannya ia merumuskan teknik berbenah yand dinamakan “KonMari Method”.
Kedua buku Marie Kondo ini menjadi International Best Seller, dan saat ini Marie Kondo tinggal 2di New York, Amerika Serikat, mengembangkan dan menjadi konsultan sekaligus membuka pelatihan KonMari.
Ketika rumah tertata rapi, kita sudah memangkas banyak waktu tentang manajerial mengurus dan membersihkan rumah. Lalu tujuan jangka panjangnya, Ibu mampu menjalani gaya hidup yang menjadi impian Ibu. Jika Ibu mengurus rumah tanpa dibantu asisten rumah tangga, perihal efisiensi kepengurusan ini terbukti memiliki pengaruh yang signifikan lho, Ibu. Saya merasakannya sendiri ketika asisten rumah tangga sedang libur, betapa rumah yang sudah tertata rapi relatif lebih cepat untuk dibersihkan.
So, if we already get the ‘why’, then ‘how’ to do it?
Kalau kita mengakui bahwa berbenah ini adalah hal yang tricky, susah susah gampang, kira-kira berapa banyak dari kita ya, Ibu, yang secara alamiah memiliki keterampilan berbenah? Mungkin ada yang sudah mahir karena terbiasa. Nyatanya untuk melakukan bidang apapun dengan baik, kita wajib memiliki ilmunya. Tidak heran ketika zaman sekarang ada sekolah masak, karena hari ini masak sudah diakui sebagai keterampilan khusus. Bandingkan ketika orang tua kita zaman dahulu yang wajib bisa memasak karena tuntutan life skill. Begitu juga dengan keterampilan berbenah.
Yang menariknya lagi, ketika berbicara tentang rumah yang rapi, tentu tidak terlepas dengan obyek kerapian itu sendiri yaitu barang. Kuantitas barang memiliki peranan yang signifikan dalam keberlangsungan berbenah. Jelas, semakin sedikit kuantitas barang akan kita benahi, semakin mudah kita berbenah. Semakin minim informasi barang yang terserap otak kita, tentu semakin minim distraksi yang kita rasakan juga. Maka gagasan minimalisme saya rasa masih memiliki relevansi yang cukup kuat dalam aplikasi berbenah. Gagasan minimalisme dalam kepemilikan barang pernah dipopulerkan oleh Fumio Sasaki dalam bukunya “goodbye, things” dan memberi pemahaman baru dalam persepsi saya akan kebutuhan saya terhadap barang. Jika Marie Kondo berfokus untuk memilah barang berdasarkan spark-joy check, maka kiat-kiat Fumio Sasaki bisa jadi lebih ekstrim dan membuat kita berpikir mendalam terkait hakekat kepemilikan barang.
Awal tahun 2019 ini dibuka dengan reality show yang dipandu oleh Marie Kondo di Netflix. Dari apa yang saya lihat, sepertinya acara tersebut berhasil mempopulerkan suatu gebrakan baru tentang berbenah dan membuat banyak orang menambahkan “rumah rapi” sebagai resolusi baru di tahun ini. Jika Ibu juga ingin menambah resolusi baru di tahun ini (not too late, Ibu, it’s still March!) mungkin Ibu bisa mulai menonton serialnya, membaca buku-buku yang saya referensikan diatas, dan berjejaring bersama di media sosial bersama para Ibu lain yang menginginkan perubahan dalam rumah dan hidupnya 🙂
Minimalisme adalah gaya hidup yang membuat kita mampu mereduksi kebutuhan maupun 3keinginan kita secara absolut. Dipopulerkan oleh orang Jepang, minimalisme sangat erat dengan budaya Jepang karena isu keterbatasan lahan dan mahalnya harga tanah di Jepang.