CONTACT US
Lets share some love updates
Mom Inner Journey
Mom Inner Journey

Your Mind is Your Garden

Share:

HaloIbu!

Saya yakin Ibu tahu istilah garbage in – garbage out.

Apapun yang kita keluarkan dari tubuh kita, baik itu energi, ucapan, gestur maupun perbuatan, adalah produk dari asupan yang kita izinkan memasuki sistem tubuh dan jiwa kita. Untuk menjadi #ibuberdaya, kita perlu memilah dan memproses semua asupan yang ‘layak’ masuk ke sistem kita.

Sementara itu, setiap harinya tanpa sadar, Saya nyaris tidak bisa lepas dari social media. Minimal, 1 jam sesi buka Instagram deh dalam sehari. Scroll, scroll, scroll, dan diterpalah kita oleh berbagai asupan yang tidak semuanya positif.

Pernah tidak Bu, merasa lelah atau tertekan setelah beberapa waktu sesi browsing di social media? Saya pernah loh. Menurut saya, itu adalah pikiran dan tubuh  saya memberi tanda bahwa asupan online sudan tidak lagi positif.

Dr. Kenneth R. Pelletier, PhD, MD dari Stanford Center for Research in Disease Prevention pernah mengatakan, “Pikiran dan tubuh memiliki hubungan yang tidak bisa dipisahkan, dan interaksi keduanya dalam setiap detik memberikan pengaruh besar pada kondisi kesehatan, hidup dan mati. Tekanan emosi dapat memicu reaksi berantai yang mempengaruhi struktur kimia dalam darah, detak jantung, dan aktivitas tiap sel dan organ dalam tubuh – mulai dari gangguan perut dan pencernaan, hingga daya tahan tubuh.”

Karena itu Ibu, mari perlakukan pikiran kita selayaknya sebuah tempat suci yang sangat penting.

Saya sadari penuh bahwa menjadi Ibu berarti perlu memiliki kemampuan mengelola tubuh dan emosi sebaik mungkin. Karena itu, demi menjaga inner peace saya sendiri, saya mulai melatih diri memilah konten- konten social media yang sebaiknya saya hindari. Mungkin, ini bisa membantu Ibu juga

1.Konten yang Mengintimidasi

Sesekali bolehlah kita mengunjungi akun Instagram seleb A dan B yang kebetulan punya anak seumuran, untuk mencari inspirasi dan referensi. Tapi, belakangan saya melatih diri saya untuk mampu mengenali konten- konten mereka yang membuat saya kurang nyaman. Misalnya, postingan foto liburan mereka ke Santorini ketika saya sadar bahwa cuti kami tahun ini sudah habis. Atau, postingan baby crib berharga puluhan juta yang saya tahu diluar budget kami. Saya rasa penting untuk mengenali perasaan saya sendiri saat melihat suatu entry. Ketika sebuah konten lebih terasa mengintimidasi daripada mengilhami, lebih baik saya skip.

 

2. Konten yang Terlalu Menguras Emosi

Sejak jadi seorang ibu, saya jadi lebih sensitif. Karenanya, saya memilah konten- konten tertentu yang akan terlalu banyak menguras emosi tapi kurang memberi manfaat. Misalnya, berita pembakaran tertuduh pencuri amplifier musholla di Bekasi yang viral beberapa waktu lalu. Saya rasa, saya cukup mendapatkan informasi yang dibutuhkan lewat artikel- artikel yang saya baca untuk kemudian menentukan sikap. Saya tak merasa perlu melihat foto jenazah korban di tempat kejadian perkara. Ambang batas toleransi emosi pada tiap orang tentu berbeda. Tapi ketika suatu konten jadi terlalu “menekan” untuk dibaca, menurut saya it’s not worth it anymore. 

3. Konten yang Tidak Jelas Sumbernya

Nah, kalau yang satu ini karena buang- buang waktu dan kuota Dengan banyaknya berita hoax yang beredar akhir- akhir ini, kita harus cerdas melihat link website berita, narasumber yang dipilih dan sumber informasi lainnya sebelum mengklik tautan yang disebarkan teman kita di timeline nya. Kita tidak ingin mengalami hal yang sama dengan Ibu Elly Risman yang dibully netizen karena mentwit tanpa referensi yang lengkap, meskipun saya yakin semua orang mengetahui maksud baik dibalik tindakan beliau.

Akhir kata, ketahuilah bahwa kita adalah pemegang kunci pikiran kita sendiri. Jangan membebani diri dengan membandingkan diri kita dengan orang lain yang tampaknya lebih bahagia atau beruntung. Everyone has their own battle, and we need to face ours.

Kita tidak bisa selalu membentengi diri kita dari omongan yang menyakitkan hati, pemandangan yang bikin iri, dan hal- hal negatif lainnya. Tapi, kita selalu bisa menyaring pikiran kita untuk tidak perlu memproses “sampah- sampah” itu lebih lanjut.

“If you consider your mind as a garden and nurture and cultivate it like a fertile rich garden, it will blossom beyond your expectations. Do not let anyone throw toxic waste into your garden of minds”  ,

– Robin Sharma, The Monk who Sold hid Ferrari.

Hope you nourish your garden with love. Yes, dear #ibuberdaya, we can do it!

Mutia

A mother, writer, entrepreneur and marketer, wishing to empower.

Related
Our Thoughts with Evy: Fighting Postpartum Depression
Kenapa #ibuberdaya?
Apa Saya Terkena Postpartum Depression ?
Tags: ibu berdaya, postpartum depression, postpartum time, your mind your garden
No Comment
Leave a comment!
Your Name*
Your Email*
Your Website
Your Comment
@haloibuid