Survei Tirto tahun 2021 lalu menunjukkan bahwa masyarakat kita sudah mulai aware dan peduli dengan isu ketimpangan gender yang merugikan perempuan. Namun, mayoritas tidak ingin dilabeli feminis. Survei tersebut melibatkan 1.500 responden dengan proporsisi 55,13% laki-laki dan 44,87% perempuan. Sebanyak 54.14% tidak ingin dilabeli atau disebut feminis walaupun mendukung kesetaraan gender, 40,76% menganggap dirinya feminis dan 5,1% lainnya mengaku antifeminis.
Fenomena antifeminis hingga tidak ingin dilabeli sebagai feminis tidak terlepas dari pemahaman yang keliru mengenai feminisme. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Perlu dipahami bahwa feminisme menekankan persamaan hak sehingga perempuan dan laki-laki setara. Setara artinya tidak ada yang direndahkan karena keduanya memiliki kedudukan yang sama di bidang apapun, baik itu pendidikan, ekonomi, maupun politik.
Feminisme menyadari sepenuhnya bahwa perempuan dan laki-laki terlahir berbeda. Namun, perbedaan itu hanya dilihat dari bentuk fisik dan kondisi biologisnya. Terkait dengan hak mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan kesempatan untuk memimpin, keduanya setara sehingga tidak bisa dibedakan.
Menurut seorang penulis sekaligus pemerhati isu perempuan, Kathy Caprino, mereka yang menolak dan memandang sinis feminisme dikarenakan hanya melihat dari perbedaan fisik laki-laki dan perempuan. Perempuan memiliki rahim, lalu bisa hamil dan melahirkan yang tidak bisa dilakukan laki-laki sehingga keduanya tidak bisa disamakan. Padahal, yang ditekankan feminisme adalah ‘kesetaraan’, bukan ‘kesamaan’.
Jika hanya mengejar kesamaan, tentu feminisme akan terhalang pada kodrat laki-laki dan perempuan karena keduanya jelas-jelas ditakdirkan berbeda. Coba buka lagi KBBI dan lihat apa definisi dari ‘setara’ sehingga bisa lebih memahaminya. Setara adalah sejajar yang artinya sama tingginya, sama tingkatannya, dan sebanding.
Nah, itulah yang disuarakan feminis mengingat perempuan sering dipandang lebih rendah dari laki-laki. Derajat perempuan yang direndahkan pada akhirnya menimbulkan banyak persoalan dan diskriminasi.
Awal Mula Feminisme di Indonesia
Feminisme di Indonesia bukanlah hal yang baru. Raden Ajeng Kartini yang kita kenal sebagai pejuang emansipasi wanita merupakan tokoh feminis di masa penjajahan. Apa yang dilakukan Kartini untuk memperjuangkan kesetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam pendidikan adalah gerakan feminisme. Sejak dulu, perempuan memang dipandang lebih rendah dari laki-laki.
Anak perempuan selalu diarahkan untuk mengurus domestik dan tidak dibekali pendidikan yang setara dengan laki-laki. Budaya ini terus mengakar walaupun sampai sekarang. Meskipun perempuan sudah mendapatkan haknya untuk bisa bebas mengakses pendidikan, tetapi di lingkungan kerja, kapabilitas perempuan masih sering diremehkan.
Pada 1928, Kongres Perempuan Indonesia pertama kali digelar untuk memperjuangkan hak perempuan dalam pendidikan, perkawinan, dan perlindungan. Kongres ini dipandang sebagai puncak dari kesadaran berorganisasi kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya.
Lalu, apakah feminisme masih relevan saat ini? Selama perempuan masih dipandang sebagai individu yang tidak bisa lebih unggul dari laki-laki dan laki-laki selalu dianggap lebih berkuasa, maka gerakan feminisme masih harus diperjuangkan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan bahwa kesenjangan gender masih belum tercipta hingga saat ini, terutama di dunia kerja. Akibatnya, perempuan mengalami diskriminasi dan ketertinggalan dibanding laki-laki.
“Perempuan masih tertinggal secara aksesbilitas, persamaan peran dalam pembangunan, hingga belum menerima manfaat pembangunan yang sama dengan laki-laki. Hal ini bukan merupakan asumsi belaka. Berbagai indeks dan data masih menunjukkan ketimpangan antara perempuan dan laki-laki,” ucapnya dalam acara virtual yang bertajuk Perempuan-Perempuan di Dunia Tambang, Senin (18/4)
Kenapa Banyak yang Membenci Feminisme?
Tujuan utama dari gerakan feminisme adalah menciptakan kesetaraan gender sehingga perempuan tidak lagi mengalami diskriminasi. Meski demikian, feminisme belum bisa diterima sepenuhnya oleh masyarakat kita karena kesalahpahaman. Berikut beberapa hal yang keliru mengenai feminisme:
1. Feminisme Dianggap Sebagai Gerakan untuk Merendahkan Laki-laki
Tak bisa dipungkiri bahwa feminisme masih dianggap tabu bagi sebagian orang. Perjuangan untuk membuat perempuan setara dengan laki-laki dimaknai sebagai gerakan untuk merendahkan laki-laki. Padahal, perempuan hanya menuntut haknya seperti yang dimiliki laki-laki.
2. Ditakuti Akan Membawa Dampak Buruk dalam Perkawinan
Budaya patriarki yang masih melekat di masyarakat menempatkan perempuan di ranah domestik ketika sudah berumah tangga dan laki-laki sebagai pencari nafkah dengan cara bekerja. Sementara itu, feminisme memperjuangkan hak istri untuk tetap bisa bekerja dan urusan domestik mestinya bisa dikerjakan bersama dengan suami.
Perspektif tersebut dipandang sebagai ancaman dalam rumah tangga bagi sebagian orang. Mereka takut bahwa feminisme akan membuat perempuan jadi pemberontak sehingga dapat menghancurkan perkawinan.
3. Feminisme Membenci Laki-laki
Karena menuntut persamaan hak yang dimiliki laki-laki, feminisme dianggap benci laki-laki. Padahal, fokus utama feminisme adalah hak laki-laki yang seharusnya juga dimiliki perempuan. Feminisme juga mengkritik stigma yang menganggap laki-laki sebagai individu superior, tetapi bukan artinya feminisme membenci laki-laki.
Referensi:
- https://www.history.com/topics/womens-history/feminism-womens-history
- https://www.forbes.com/sites/kathycaprino/2017/03/08/what-is-feminism-and-why-do-so-many-women-and-men-hate-it/
- https://tirto.id/survei-feminisme-tolak-label-feminis-tapi-mendukung-isu-perempuan-ggLF
- https://www.liputan6.com/bisnis/read/4941819/menteri-pppa-sebut-kesetaraan-gender-di-dunia-kerja-masih-belum-tercapai-hingga-kini