Sejak tahun 2008 Indonesia resmi memiliki Undang-undang Pornografi. Sayangnya, regulasi ini mengandung pasal karet yang bisa merugikan perempuan. Padahal, awal mula dirumuskannya regulasi ini adalah untuk melindungi perempuan dan anak-anak agar tidak menjadi korban pelampiasan dari orang-orang yang mengonsumsi konten seks. Kemudian, mencegah penyebarluasan pornografi yang menjadikan perempuan objek seksual.
Seiring berjalannya waktu, regulasi tersebut justru tidak memberikan manfaat seperti apa yang diharapkan sebelumnya. Memang, dalam beberapa kasus UU Pornografi mampu menjerat kreator pornografi yang sengaja ingin menyebarkannya ke media sosial.
Contohnya kasus Dea Onlyfans yang memproduksi dan menyebarkan konten porno ke platform OnlyFans. Ia dijerat pasal 4 ayat 1 yang berbunyi:
“Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat antara lain: persenggamaan (termasuk yang menyimpang), kekerasan seksual, masturbasi (onani), ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin, atau pornografi anak.”
Platform ini sebetulnya diperuntukan bagi kreator yang ingin menjual karyanya dan tidak dikhususkan untuk mendistribusikan pornografi. Dalam kasus Dea, UU Pornografi sudah berperan sebagaimana mestinya, yaitu menindak para pelaku yang membuat dan menyebarkan konten porno.
Namun, regulasi ini juga beberapa kali mengubah korban menjadi pelaku karena pasal yang multitafsir. Salah satunya adalah Gisella Anastasia yang ditetapkan menjadi tersangka setelah video hubungan intimnya bersama seorang pria beredar di media sosial. Gisel dijerat pasal yang sama seperti kasus Dea.
Meskipun demikian, kasus Gisel dan Dea sebetulnya berbeda. Gisel langsung ditetapkan sebagai tersangka tanpa pembuktian terlebih dahulu siapa penyebar videonya. Hanya karena mengakui video tersebut dibuat olehnya, polisi langsung menetapkannya sebagai tersangka. Padahal, belum terbukti apakah Ia membuat konten pornografi untuk konsumsi pribadi atau menjualnya seperti Dea OnlyFans.
UU Pornografi Membuat Korban Jadi Tersangka
Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, pasal yang menjerat Gisel pada dasarnya ditujukan untuk industri pornografi. Dalam pasal itu memang disebutkan ‘setiap orang dilarang memproduksi, membuat …’, tetapi tidak bisa dikaitkan dengan pornografi yang dibuat untuk kepentingan sendiri.
Sayangnya, UU Pornografi tidak membedakan aturan bagi pelaku yang membuat konten porno untuk dinikmati sendiri dan pelaku yang sengaja memproduksinya untuk disebarkan. Keduanya diperlakukan sama oleh UU Pornografi. Meskipun konten yang tersebar adalah ulah orang lain, pelaku yang berniat memproduksi untuk kepentingan sendiri tetap akan dipidanakan.
“GA adalah korban dari penyebaran konten yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum. Karena bisa saja, pola ini dapat digunakan untuk mengkriminalkan perempuan yang melakukan aktivitas seksual dengan pasangannya,” ucapnya.
Pada akhirnya, UU Pornografi yang awalnya bertujuan untuk melindungi perempuan malahan menjerumuskan perempuan. Regulasi ini bisa menjerat perempuan yang dipaksa berhubungan seksual dan direkam. Perempuan juga akan menjadi korban kekerasan berbasis gender online atau KBGO jika video porno yang melibatkannya tersebar tanpa ada persetujuan sebelumnya.
Apalagi, jika penyebaran video porno tersebut bertujuan untuk menjadikan perempuan objek seksual. Kondisi ini sama saja seperti menghajar perempuan dua kali dengan pasal karet UU Pornografi yang menjadikannya tersangka dan objektivikasi seksual dari video tersebut.
Objektifitas Perempuan dalam Pornografi
Konten pornografi acap kali menempatkan perempuan sebagai objek seksual. Sudut pandang film porno seolah-olah mewakili mata para laki-laki yang melihat perempuan selama berhubungan intim. Dalam buku Teorisasi Patriarki, Walby menyampaikan bahwa perempuan yang dijadikan objek tidak dianggap sebagai manusia seutuhnya. Perempuan sebagai objek seksual tak lain hanya untuk menumbuhkan keinginan seksual laki-laki.
Meskipun ada kelompok perempuan yang tidak mempersoalkan jika mereka dijadikan objek sekual, tetapi mayoritas merasa prihatin hingga tertekan. Dalam studi yang dilakukan ahli sosiologi dari Universitas Harvard, Philip C Nohen menemukan bahwa perempuan cenderung menolak habis-habisan konten pornografi. Hal ini dikarenakan perempuan lebih memikirkan dampak negatifnya.
Dalam industri pornografi, aktor perempuan tidak akan mempermasalahkan jika dirinya dijadikan objek seksual karena konten dibuat atas persetujuannya. Di lain sisi, banyak perempuan menjadi korban objektifikasi massal karena konten porno yang melibatkan dirinya tersebar tanpa persetujuan.
Dalam kasus seperti ini UU Pornografi mestinya bisa melindungi korban dan bukan menetapkannya sebagai tersangka. Aminah berpendapat bahwa regulasi ini harus diperbarui dan lebih berhati-hati agar tidak menyudutkan perempuan. Harus ada klausul yang jelas mengenai konten pornografi yang dibuat untuk kepentingan pribadi dan konten pornografi yang sengaja dibuat untuk disebarkan.
“Diperlukan pembaruan hukum terkait UU Pornografi dan UU ITE yang memastikan perempuan korban kekerasan berbasis gender tidak malah dikenai pasal, mendapatkan perlindungan, dan difasilitasi menghapus jejak digital dan pemulihan psikologis.” ujarnya.
Refrensi:
- https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6707629/
- https://tirto.id/pasal-karet-uu-pornografi-bisa-ubah-korban-jadi-pelaku-f8JU
- https://nasional.kompas.com/read/2020/10/07/19573781/uu-pornografi-dinilai-belum-menjawab-kerentanan-perempuan-tafsir-mk?page=all
- https://www.liputan6.com/health/read/2327409/banyaknya-pornografi-bikin-wanita-tertekan