Ada kalanya kita enggan menjelaskan latar belakang kita pada orang yang tidak dikenal, namun ada pula masa di mana rasanya jengah dengan judgement yang diterima oleh orang meski dengan informasi yang minim. Seperti waktu itu, ketika seorang pengemudi transportasi online. Percakapan diawali dengan menanyakan informasi sederhana, seperti profesi apa dan status. Awalnya berusaha untuk ramah dan menjawab bahwa saya adalah seorang ibu bekerja, memang memiliki wajah yang terlihat lebih muda seringkali menipu dan membuat orang cenderung lebih mudah menyimpulkan. Percakapan berlanjut hingga menanyakan, ketika bekerja, siapa yang menjaga anak yang dengan singkat saya jawab dijaga oleh Ibu saya. Namun tidak puas dengan jawaban saja, sang pengemudi inipun mulai menceramahi bahwa tidak baik untuk selalu merepotkan orang tua, anak adalah tanggung jawab ibunya, dan wanita semestinya mengurus keluarganya. Kondisi ini seringkali terjadi dalam berbagai peristiwa. Serba salah memang, acuh dianggap angkuh, tapi ketika dijawab, dihakimi.
Hal ini seringkali saya rasakan ketika orang bertanya anak saya dijaga oleh siapa atau karena baru memiliki satu anak, hidupnya dinilai tidak sebanding dengan yang anaknya lebih dari satu. Kadang saya hanya tersenyum pahit mendengarnya, tapi di sisi lain kadang saya terpaksa menceritakan kondisi yang sebenarnya dan ketika sudah mengetahui malah membuat situasi menjadi canggung karena ada rasa bersalah. Tidak semua punya privilege, setelah menikah langsung dapat memiliki rumah maupun kendaraan pribadi, adapula yang terpaksa masih menumpang dengan orang tua maupun mertua. Dan tidak selalu perempuan bekerja hanya semata mengejar karir dan ambisi, kadang memang bekerja adalah tuntutan ekonomi yang harus dipenuhi.
Hidup sebagai sulung dari enam bersaudara dengan orang tua yang tidak bekerja membuat saya bertanggung jawab sebagai partner ibu dalam mendampingi dan membesarkan adik-adik, hingga mereka bisa mencari nafkah dan mampu berbagi tanggung jawab dengan saya. Kalau boleh memilih, tentu saya ingin hidup di keluarga yang utuh dan mapan, kemudian membina keluarga secara mandiri, memiliki segala fasilitas sesuai kebutuhan. Namun, Tuhan punya cara sendiri untuk menempa umatNya sesuai kekuatanNya. Saya tidak sendiri, banyak juga anak yang terpaksa dewasa lebih awal karena menjalankan tanggung jawab orang tuanya.
Setiap keluarga tentu punya cerita ketangguhan dan ketegarannya, saya percaya semua orang hidup dengan tanggung jawabnya sendiri. Menjadi ibu mengubah sudut pandang saya dalam memandang dunia ini. Sebelum menikah dan memiliki anak, saya bekerja keras dan sebisa mungkin banting tulang hanya untuk bertahan hidup dan menghindari kesusahan. Ketika menjadi ibu saya berusaha sekuat tenaga untuk membesarkan anak saya sebaik-baiknya dan memenuhi segala kebutuhan yang mungkin tidak dapat saya rasakan sejak kecil. Meski demikian, saya juga berupaya agar anak saya bisa menjadi tangguh karena tantangan yang akan dihadapi nantinya pasti akan berbeda. Di saat yang bersamaan saya berupaya tetap memberikan perhatian, menemaninya, dan mendampinginya setiap ada kesempatan agar nanti ketika beranjak dewasa dia akan belajar bahwa kerasnya hidup semoga tidak mengeraskan hatinya, namun membuatnya menjadi tegar. Mungkin ibu bukan ibu yang sempurna, tapi ibu berusaha selalu ada ketika kamu butuh ibu.
Ketika saya menyadari bahwa saya telah melakukan hal yang saya yakini dengan sebaiknya, maka penilaian dari orang lain kepada diri saya menjadi tidak mengurangi nilai yang saya perjuangkan untuk hidup saya. Saya percaya Ibu juga demikian, meski kadang banyak pertanyaan dan pernyataan, tapi kita berhak menjalani hidup kita sendiri dan berjuang yang terbaik untuk keluarga kita sendiri. Ketika saya mendengar pertanyaan yang sama, saya menanggapinya dengan senyum karena tidak semua pertanyaan butuh jawaban.