Setiap kali marah, saya kesulitan untuk mengelola emosi, ada kalanya sulit mengendalikan diri. Teriakan dan bentakan beberapa kali dilakukan kepada anak, yang akhirnya berakhir dengan tangisan penyesalan. Rasanya saya adalah ibu paling buruk di dunia ketika saya kehilangan lepas kendali. Dan ketika orang tua memberikan teguran keras setiap kali saya melakukan itu, seperti ada film yang berputar di kepala saya selama beberapa saat. Segala memori, ingatan, kenangan yang mengendap. Cacian, makian, teriakan, dan pukulan yang selalu saya rasakan dan terima setiap kali orang tua merasakan marah dan nada yang lebih tinggi tiap kali saya menangis.
Yah, rasanya memang seperti menonton kaset rusak berulang, pahitnya masih terasa di ujung lidah, namun seakan tidak ada daya, segala ketakutan menjelma menjadi agresivitas. Sampai tersadar, bahwa sebagai ibu, saya harus pulih dan menyembuhkan luka yang pernah saya rasakan sebelumnya. Luka yang selama ini saya abaikan, ternyata menjelma menjadi hal mengerikan yang bisa jadi terulang dan meneruskan rantai duka dan luka hingga beberapa generasi selanjutnya.
Proses pemulihan luka, tidaklah semudah kelihatannya karena harus berani untuk menghadapi kembali berbagai pengalaman tidak menyenangkan, menerima, memaafkan, serta mengikhlaskannya. Bertemu dengan banyak orang yang pernah melaluinya, teman yang membantu untuk menghadapinya, serta afirmasi tiada henti kepada diri sendiri bahwa saya adalah diri saya sendiri, saya bukan orang tua saya, dan saya bukanlah semua label yang mereka berikan pada saya. Proses yang dilalui tidak singkat dan instan, bukan sekali usap dan langsung menghilang bekasnya.
Ada kalanya bekas luka itu terasa sedikit nyeri ketika ada peristiwa yang mungkin serupa dan tidak sama, sehingga semua proses pemulihan yang dijalani terasa percuma, karena kembali ke sosok yang menyeramkan dalam diri, tapi memang itu manusiawi dialami. Mungkin sejenak, kembali merasakan dan mengalami kemarahan yang meluap, namun itu tidak berarti kita tidak bertumbuh. Bisa jadi itu hanya salah satu pertanda bahwa luka itu perlu sedikit perhatian, bahwa diri kita mungkin sedang butuh ‘rehat’ sejenak dari segala hal yang menyesakkan sebelum akhirnya menghadapi kembali realita, anak menangis, pekerjaan menumpuk, rumah yang berantakan. Tidak ada salahnya menarik nafas sejenak, menghubungi support system, berbagi beban dan keresahan, hingga mampu menghadapi kembali hari-hari dengan senyuman.
Ibu dengan luka perlu untuk memulihkan diri, demi keluarga tercintanya agar tidak mengulang rantai duka dan luka, namun yang lebih penting bagi dirinya sendiri karena ibu berhak merasa bahagia dan hidup penuh cinta.
Sehat selalu Ibu. Peluk dari jauh untukmu di manapun berada. Kamu tidak sendiri.
Demi anak bertumbuh, ibu belajar untuk sembuh karena ibu sadar ibu ingin menghabiskan banyak waktu menyenangkan dan ibu berharap anak dibesarkan dengan banyak kasih sayang. Meski anak akan berhadapan dengan tantangan, anak akan selalu punya cinta yang cukup untuk bertahan.