Dear Ibu,
Pasti sudah sering dengar kalau orang tua dilarang bilang ‘jangan’ ke anaknya. Tapi sama seperti anak, makin dilarang, kok makin sering keluar kata ‘jangan’ ya dari mulut kita hehe.. Bedanya, cara berpikir dan kemampuan orang tua dalam mengatur emosi tentu sudah lebih baik dan matang daripada anak-anak. Karena itu orang tua bisa melatih kemampuannya dalam berkomunikasi positif, termasuk mengurangi penggunaan kata ‘jangan’. Jadi mengurangi saja? Bukan meniadakan? Tentu bukan dong. Kata ‘jangan’ boleh dan kadang perlu diucapkan kok untuk situasi dan kondisi tertentu, seperti ketika anak berlarian di jalan raya, mau memegang api, atau melakukan hal lain yang bersifat darurat atau bahaya. Perlu diingat bahwa setiap memberikan larangan kepada anak, wajib disertai dengan alasan atau alternatif kegiatan lain. Misalnya, “Jangan pegang api, karena api panas dan tanganmu bisa terbakar” atau “Jangan mainan pintu, nanti tanganmu terjepit. Kalau kamu sedang bosan, kita baca buku saja, yuk!”
Berdasarkan pengalaman saya pribadi, kadang Raka dan Rayi sudah diberi alasan mengapa mereka dilarang, tetap saja masih penasaran. Seperti tentang api yang panas dan bisa membuat tangan terbakar tadi. Raka (5 tahun) lanjut bertanya “Kalau kebakar nanti emang gimana tangannya Bu?” “Oh kepanasan.. oh bisa melepuh.. melepuh tuh gimana sih?” dan biasanya memang pembahasan dari setiap alasan yang saya berikan tidak pernah sebentar. Diskusi wajib dilanjutkan agar rasa penasarannya terjawab dan ia benar-benar paham mengapa saya melarangnya memegang api. Sedangkan untuk Rayi (2 tahun), semakin saya bilang tidak, Ia justru memasang wajah jahil dan sengaja mendekatkan tangannya ke sumber panas. Bisa jadi karena dia terhibur dengan ekspresi panik saya, tapi bisa juga simply karena dia belum paham maksud ucapan ibunya. Untuk itu, saya (sambil mengucap Bismillah hehe..) mendekatkan tangannya sedikit ke api atau sumber panas agar ia bisa benar-benar merasakan panas itu seperti apa. Ketika merasa tidak nyaman dengan rasa panas, Ia refleks menarik tangan dan setelah itu paham dengan apa yang saya ucapkan dan mengapa saya melarangnya.
Seringkali orang tua hanya sekedar melarang tanpa memberikan alasan dan edukasi kepada anak. Padahal edukasi ini yang mereka butuhkan sebagai bekal di masa depan, yaitu agar mereka berhati-hati dan bisa menjaga dirinya sendiri. Kalau hanya melarang, apalagi terlalu sering mengucapkan kata ‘jangan’ dan ‘tidak’, anak akan semakin penasaran dan di masa depan bisa-bisa ia akan senang memberontak karena bosan dengan larangan dan aturan. Di sisi lain, ada anak-anak yang ketika terlalu sering dilarang, ia menjadi ragu untuk mencoba sesuatu dan tidak yakin akan kemampuannya sendiri.
Tapi sebagai psikolog yang juga ‘menjabat’ ibu dari 2 anak super aktif, saya paham bahwa mempraktekkan teori itu tidak selalu mudah. Terlalu banyak berpikir ketika berbicara pada anak juga tidak hanya membuat frustasi tapi juga membuat komunikasi menjadi kurang natural alias kaku. Oleh karena itu, memperhatikan ekspresi dan intonasi ketika berbicara bisa membantu agar kita tetap dapat memberi larangan pada anak dengan cara yang lebih dapat mereka terima. Bisa juga disertai pelukan atau sambil mengelus punggung anak. Kalau saya, kadang sambil menyelipkan sebutan positif di dalam kalimat, seperti ‘Anak Soleh’ atau ‘Anak Pintar’, misalnya “Tidak beli mainan ya, Anak Soleh.” Setelah itu, jangan lupa memberikan alasan kenapa kita melarang dan segera mencari alternatif atau mengalihkan perhatiannya ke hal lain.
Intinya, fasilitasi kebutuhan anak untuk mengeksplorasi lingkungannya dengan maksimal. Karena dari situlah mereka belajar banyak hal sebagai bekal kehidupannya di masa depan. Perbanyaklah arahan positif dan pemberian reward (tidak selalu berupa barang, tapi juga bisa berupa pujian) ketimbang larangan dan hukuman. Kuatkan ikatan/bonding kita dengan anak dan perbaiki pola komunikasi. Usaha untuk menciptakan bonding dan komunikasi yang baik akan menjadi dasar terucapnya kalimat-kalimat yang baik. Karena kalimat yang baik tentu akan lebih mudah diterima dan dipahami dengan baik pula. Kalau katanya Mahatma Gandhi “Keep your words positive, because your words become your behavior.” So, keep positive ya, Ibu!